berbagi referensi skripsi

MAKALAH FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN


BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Bekang Masalah


Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua.  Bila  kita  membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua  ilmu  dinamakan  filsafat.  Dari  Yunanilah  kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. “Philos” artinya cinta yang  sangat  mendalam  dan  “sophia”  artinya  kebijakan  atau  kearifan.  Istilah filsafat  sering  dipergunakan  secara  populer  dalam  kehidupan  sehari-hari,  baik secara  sadar  maupun  tidak  sadar.  Dalam  penggunaan  populer,  filsafat  dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan  masyarakat  (masyarakat).  Mungkin  anda  pernah  bertemu  dengan seseorang  dan   mengatakan: “filsafat  hidup  saya  adalah  hidup  seperti  oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”.  Hal ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. 
 Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh  karena  manusia  itu  makhluk  sosial,  maka  dalam  hidupnya  ia akan  hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal  ini  yang  disebut  filsafat  atau  pandangan  hidup.  Bagi bangsa  Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa. Henderson (via Sadulloh,  2007:16) mengemukakan: “Populerly, philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. 
Filsafat  bersifat  sistematis  artinya  pernyataan-pernyataan  atau  kajian-kajiannya  menunjukkan  adanya  hubungan  satu  sama  lain,  saling  berkait  dan bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan.

B.  Rumusan Masalah

1.    Penerapan kurikulum di Sekolah?
2.    Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3.    Evaluasi pembelajaran di Sekolah?
4.    Penerapan evaluasi di Sekolah

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Kurikulum di Sekolah Dasar

Dalam  Standar  Nasional  Pendidikan  (SNP)  pasal  1  ayat  15  (Mulyasa,  2010: 15)  dikemukakan  bahwa  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  (KTSP)  adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan  dengan  memperhatikan  dan  berdasarkan  standar  kompetensi  serta kompetensi  dasar  yang  dikembangkan  oleh  Badan Standar  Sistem  Pendidikan (BSNP).
Masnur  Muslich  (2010:  1)  menyatakan  bahwa  pada  prinsipnya,  KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya  diserahkan  kepada  sekolah  agar  sesuai  dengan  kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi.  Suparlan  (2011: 97)  menyatakan,  konsep  dasar  KTSP  meliputi  tiga aspek  yang  saling  terkait,  yaitu  (a)  kegiatan  pembelajaran,  (b)  penilaian,  (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Kegiatan pembelajaran  dalam  KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c) menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e) menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat. Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1.    Berpusat pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum  dikembangkan  berdasarkan  prinsip  bahwa  peserta  didik  memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta  didik  serta  tuntutan lingkungan.
2.    Beragam dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta  didik,  kondisi  daerah,  dan  jenjang  serta  jenis  pendidikan,  tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib  kurikulum, muatan  lokal,  dan  pengembangan  diri  secara  terpadu,  serta  disusun  dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3.    Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik  untuk  mengikuti  dan  memanfaatkan  secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4.    Relevan dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena  itu,  pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan pengembangan integritas  pribadi, kecerdasan spiritual, keterampilan berpikir (thinking  skill),  kreatifitas  sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan vokasional.
5.    Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi  kurikulum  mencakup  keseluruhan  dimensi  kompetensi,  bidang kajian  keilmuan,  dan  mata  pelajaran  yang  direncanakan  dan  disajikan  secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
6.    Belajar sepanjang hayat.
Kurikulum  diarahkan  kepada  proses  pengembangan,  pembudayaan,  dan pemberdayaan  peserta  didik  yang  berlangsung  sepanjang  hayat.  Kurikulum mencerminkan  keterkaitan  antara  unsur-unsur  pendidikan  formal,  informal,  dan nonformal,  dengan memperhatikan kondisi  dan tuntutan lingkungan  yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7.    Seimbang antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global,  nasional,  dan  lokal  harus  saling  mengisi  dan memberdayakan  sejalan  dengan  perkembangan  era  globalisasi  dengan  tetap berpegang  pada  motto  Bhineka Tunggal  Ika  dalam  kerangka  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.  Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1.    Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
a.    Hakekat manusia:
b.    Manusia adalahü makhluk jasmani rohani
c.    Manusia adalah makhluk individual sosialü
d.    Manusia adalah makhluk yang bebas
e.    Manusia adalah makhluk menyejarahü


2.    Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

3.    Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a.    Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b.    Keyakinan mengenai siswa
Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.

c.    Keyakinan mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d.    Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda dalam meyakini apa yang harus diajarkan.

C.  Evaluasi pembelajaran di Sekolah

Evaluasi mempunyai arti yang berbeda untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro (1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan, seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono, Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192).  Selain istilah evaluasi, terdapat juga istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan, dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat (1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar. Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran (measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1.    Diukur dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2.    Melalui tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru. Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Memiliki implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2.    Lebih bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang guru.
3.    Mempunyai sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2 milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963 : 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to appraise a product already on the market”.  Cronbach nampaknya lebih menekankan  fungsi  evaluasi  untuk  perbaikan,  sedangkan  Scriven  (1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi sumatif dihubungkan dengan  penyimpulan  mengenai  kebaikan  dari  sistem  secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai. Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1.      Secara psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru) sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi  pada  situasi  tertentu.  Dalam  menentukan  sikap  dan  tingkah lakunya,  mereka  pada  umumnya  tidak  berpegang  kepada  pedoman  yang berasal dari dalam dirinya, melainkan mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran, mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan.
2.      Secara  sosiologis,  evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya. Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.      Secara  didaktis-metodis,  evaluasi  berfungsi  untuk  membantu  guru  dalam menempatkan  peserta  didik  pada  kelompok  tertentu  sesuai  dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  kedudukan  peserta  didik  dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga. Anda dan orang tua perlu  mengetahui  kemajuan  peserta  didik  untuk  menentukan  langkah-langkah selanjutnya.
5.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  taraf  kesiapan  peserta  didik  dalam menempuh  program  pendidikannya.  Jika  peserta  didik  sudah  dianggap siap  (fisik  dan  non-fisik),  maka  program  pendidikan  dapat  dilaksanakan. Sebaliknya,  jika  peserta  didik  belum  siap,  maka  hendaknya  program pendidikan  tersebut  jangan  dulu  diberikan,  karena  akan  mengakibatkan hasil yang kurang memuaskan.
6.      Evaluasi  berfungsi  membantu  guru  dalam  memberikan  bimbingan  dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat mengetahui potensi peserta didik, sehingga  dapat  memberikan  bimbingan  sesuai  dengan  tujuan  yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik belum menguasai  kompetensi  yang  ditentukan,  maka  peserta  didik  tersebut jangan dinaikkan ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih profesional.
7.      Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat  memberikan  gambaran  secara  umum  tentang  semua  hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6) mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.

D.  Penerapan evaluasi di Sekolah

Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi  tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.  Dengan informasi ini, guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah  apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi  yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan. Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan, penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan, penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko (1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak. Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang dievaluasi.
Berbeda dengan Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously. Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya, sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954) menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986) menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan, pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual, angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0 sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai 100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri, menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya, Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara lain:
Tes adalah prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka (scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c) setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam kondisi yang sebanding.
Tes berisi sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
Tes mengukur perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu. Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment) digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada level yang luas.
Persamaan evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai  pengertian  menilai  atau menentukan  nilai  sesuatu.  Di  samping  itu,  alat  yang  digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian atau  terlibat  dalam  sistem  pembelajaran  yang  bersangkutan.  Misalnya, guru  menilai  prestasi  belajar  peserta  didik,  supervisor  menilai  kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem kurikulum, sistem pembelajaran) dan  dapat  dilakukan  tidak  hanya  pihak  internal  (evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal), seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran  lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran  (quantitative description), tetapi  dapat  pula  didasarkan kepada hasil pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015). Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran. Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan (Pasaribu, 2015).
Yang menjadi landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu, sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja, tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna. Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia) merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan.
Semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari alam ini.
Berpikir mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra, 2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan (psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu, diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi. Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom (Umam, 2015).
Guru pada hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik, bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat memberikan gambaran secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan (Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status dalam kelompoknya.
Ditinjau dari pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya (Hasan, 2014).
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Secara  sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya (Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana, 2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal, 2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa (Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk  mengetahui efesiensi dan efektivitas transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif. Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011). Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang terukur.
Seringkali orang atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar kepada peserta didik.
Evaluasi bagi peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif, afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru, peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi, 2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.

BAB III

KESIMPULAN

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.






BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Bekang Masalah


Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua.  Bila  kita  membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua  ilmu  dinamakan  filsafat.  Dari  Yunanilah  kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. “Philos” artinya cinta yang  sangat  mendalam  dan  “sophia”  artinya  kebijakan  atau  kearifan.  Istilah filsafat  sering  dipergunakan  secara  populer  dalam  kehidupan  sehari-hari,  baik secara  sadar  maupun  tidak  sadar.  Dalam  penggunaan  populer,  filsafat  dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan  masyarakat  (masyarakat).  Mungkin  anda  pernah  bertemu  dengan seseorang  dan   mengatakan: “filsafat  hidup  saya  adalah  hidup  seperti  oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”.  Hal ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. 
 Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh  karena  manusia  itu  makhluk  sosial,  maka  dalam  hidupnya  ia akan  hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal  ini  yang  disebut  filsafat  atau  pandangan  hidup.  Bagi bangsa  Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa. Henderson (via Sadulloh,  2007:16) mengemukakan: “Populerly, philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. 
Filsafat  bersifat  sistematis  artinya  pernyataan-pernyataan  atau  kajian-kajiannya  menunjukkan  adanya  hubungan  satu  sama  lain,  saling  berkait  dan bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan.

B.  Rumusan Masalah

1.    Penerapan kurikulum di Sekolah?
2.    Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3.    Evaluasi pembelajaran di Sekolah?
4.    Penerapan evaluasi di Sekolah

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Kurikulum di Sekolah Dasar

Dalam  Standar  Nasional  Pendidikan  (SNP)  pasal  1  ayat  15  (Mulyasa,  2010: 15)  dikemukakan  bahwa  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  (KTSP)  adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan  dengan  memperhatikan  dan  berdasarkan  standar  kompetensi  serta kompetensi  dasar  yang  dikembangkan  oleh  Badan Standar  Sistem  Pendidikan (BSNP).
Masnur  Muslich  (2010:  1)  menyatakan  bahwa  pada  prinsipnya,  KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya  diserahkan  kepada  sekolah  agar  sesuai  dengan  kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi.  Suparlan  (2011: 97)  menyatakan,  konsep  dasar  KTSP  meliputi  tiga aspek  yang  saling  terkait,  yaitu  (a)  kegiatan  pembelajaran,  (b)  penilaian,  (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Kegiatan pembelajaran  dalam  KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c) menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e) menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat. Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1.    Berpusat pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum  dikembangkan  berdasarkan  prinsip  bahwa  peserta  didik  memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta  didik  serta  tuntutan lingkungan.
2.    Beragam dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta  didik,  kondisi  daerah,  dan  jenjang  serta  jenis  pendidikan,  tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib  kurikulum, muatan  lokal,  dan  pengembangan  diri  secara  terpadu,  serta  disusun  dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3.    Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik  untuk  mengikuti  dan  memanfaatkan  secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4.    Relevan dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena  itu,  pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan pengembangan integritas  pribadi, kecerdasan spiritual, keterampilan berpikir (thinking  skill),  kreatifitas  sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan vokasional.
5.    Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi  kurikulum  mencakup  keseluruhan  dimensi  kompetensi,  bidang kajian  keilmuan,  dan  mata  pelajaran  yang  direncanakan  dan  disajikan  secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
6.    Belajar sepanjang hayat.
Kurikulum  diarahkan  kepada  proses  pengembangan,  pembudayaan,  dan pemberdayaan  peserta  didik  yang  berlangsung  sepanjang  hayat.  Kurikulum mencerminkan  keterkaitan  antara  unsur-unsur  pendidikan  formal,  informal,  dan nonformal,  dengan memperhatikan kondisi  dan tuntutan lingkungan  yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7.    Seimbang antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global,  nasional,  dan  lokal  harus  saling  mengisi  dan memberdayakan  sejalan  dengan  perkembangan  era  globalisasi  dengan  tetap berpegang  pada  motto  Bhineka Tunggal  Ika  dalam  kerangka  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.  Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1.    Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
a.    Hakekat manusia:
b.    Manusia adalahü makhluk jasmani rohani
c.    Manusia adalah makhluk individual sosialü
d.    Manusia adalah makhluk yang bebas
e.    Manusia adalah makhluk menyejarahü


2.    Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

3.    Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a.    Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b.    Keyakinan mengenai siswa
Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.

c.    Keyakinan mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d.    Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda dalam meyakini apa yang harus diajarkan.

C.  Evaluasi pembelajaran di Sekolah

Evaluasi mempunyai arti yang berbeda untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro (1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan, seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono, Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192).  Selain istilah evaluasi, terdapat juga istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan, dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat (1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar. Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran (measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1.    Diukur dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2.    Melalui tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru. Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Memiliki implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2.    Lebih bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang guru.
3.    Mempunyai sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2 milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963 : 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to appraise a product already on the market”.  Cronbach nampaknya lebih menekankan  fungsi  evaluasi  untuk  perbaikan,  sedangkan  Scriven  (1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi sumatif dihubungkan dengan  penyimpulan  mengenai  kebaikan  dari  sistem  secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai. Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1.      Secara psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru) sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi  pada  situasi  tertentu.  Dalam  menentukan  sikap  dan  tingkah lakunya,  mereka  pada  umumnya  tidak  berpegang  kepada  pedoman  yang berasal dari dalam dirinya, melainkan mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran, mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan.
2.      Secara  sosiologis,  evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya. Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.      Secara  didaktis-metodis,  evaluasi  berfungsi  untuk  membantu  guru  dalam menempatkan  peserta  didik  pada  kelompok  tertentu  sesuai  dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  kedudukan  peserta  didik  dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga. Anda dan orang tua perlu  mengetahui  kemajuan  peserta  didik  untuk  menentukan  langkah-langkah selanjutnya.
5.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  taraf  kesiapan  peserta  didik  dalam menempuh  program  pendidikannya.  Jika  peserta  didik  sudah  dianggap siap  (fisik  dan  non-fisik),  maka  program  pendidikan  dapat  dilaksanakan. Sebaliknya,  jika  peserta  didik  belum  siap,  maka  hendaknya  program pendidikan  tersebut  jangan  dulu  diberikan,  karena  akan  mengakibatkan hasil yang kurang memuaskan.
6.      Evaluasi  berfungsi  membantu  guru  dalam  memberikan  bimbingan  dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat mengetahui potensi peserta didik, sehingga  dapat  memberikan  bimbingan  sesuai  dengan  tujuan  yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik belum menguasai  kompetensi  yang  ditentukan,  maka  peserta  didik  tersebut jangan dinaikkan ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih profesional.
7.      Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat  memberikan  gambaran  secara  umum  tentang  semua  hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6) mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.

D.  Penerapan evaluasi di Sekolah

Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi  tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.  Dengan informasi ini, guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah  apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi  yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan. Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan, penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan, penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko (1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak. Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang dievaluasi.
Berbeda dengan Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously. Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya, sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954) menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986) menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan, pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual, angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0 sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai 100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri, menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya, Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara lain:
Tes adalah prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka (scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c) setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam kondisi yang sebanding.
Tes berisi sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
Tes mengukur perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu. Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment) digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada level yang luas.
Persamaan evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai  pengertian  menilai  atau menentukan  nilai  sesuatu.  Di  samping  itu,  alat  yang  digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian atau  terlibat  dalam  sistem  pembelajaran  yang  bersangkutan.  Misalnya, guru  menilai  prestasi  belajar  peserta  didik,  supervisor  menilai  kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem kurikulum, sistem pembelajaran) dan  dapat  dilakukan  tidak  hanya  pihak  internal  (evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal), seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran  lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran  (quantitative description), tetapi  dapat  pula  didasarkan kepada hasil pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015). Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran. Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan (Pasaribu, 2015).
Yang menjadi landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu, sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja, tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna. Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia) merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan.
Semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari alam ini.
Berpikir mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra, 2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan (psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu, diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi. Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom (Umam, 2015).
Guru pada hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik, bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat memberikan gambaran secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan (Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status dalam kelompoknya.
Ditinjau dari pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya (Hasan, 2014).
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Secara  sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya (Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana, 2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal, 2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa (Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk  mengetahui efesiensi dan efektivitas transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif. Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011). Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang terukur.
Seringkali orang atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar kepada peserta didik.
Evaluasi bagi peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif, afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru, peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi, 2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.

BAB III

KESIMPULAN

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.

DAFTAR PUSTAKA


Alimudin. 2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen, M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin, Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Asifuddin, A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles, C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement: to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education, Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi, Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber: http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar, Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zahiri, Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Indonesia”. Sumber: http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Djuwita, Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan, W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3, Issue 3.
Hasan, Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal. 2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011, artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal. 2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen, M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report, Harcourt Assessment.
PeratuDAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Bekang Masalah


Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua.  Bila  kita  membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua  ilmu  dinamakan  filsafat.  Dari  Yunanilah  kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. “Philos” artinya cinta yang  sangat  mendalam  dan  “sophia”  artinya  kebijakan  atau  kearifan.  Istilah filsafat  sering  dipergunakan  secara  populer  dalam  kehidupan  sehari-hari,  baik secara  sadar  maupun  tidak  sadar.  Dalam  penggunaan  populer,  filsafat  dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan  masyarakat  (masyarakat).  Mungkin  anda  pernah  bertemu  dengan seseorang  dan   mengatakan: “filsafat  hidup  saya  adalah  hidup  seperti  oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”.  Hal ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. 
 Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh  karena  manusia  itu  makhluk  sosial,  maka  dalam  hidupnya  ia akan  hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal  ini  yang  disebut  filsafat  atau  pandangan  hidup.  Bagi bangsa  Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa. Henderson (via Sadulloh,  2007:16) mengemukakan: “Populerly, philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. 
Filsafat  bersifat  sistematis  artinya  pernyataan-pernyataan  atau  kajian-kajiannya  menunjukkan  adanya  hubungan  satu  sama  lain,  saling  berkait  dan bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan.

B.  Rumusan Masalah

1.    Penerapan kurikulum di Sekolah?
2.    Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3.    Evaluasi pembelajaran di Sekolah?
4.    Penerapan evaluasi di Sekolah

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Kurikulum di Sekolah Dasar

Dalam  Standar  Nasional  Pendidikan  (SNP)  pasal  1  ayat  15  (Mulyasa,  2010: 15)  dikemukakan  bahwa  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  (KTSP)  adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan  dengan  memperhatikan  dan  berdasarkan  standar  kompetensi  serta kompetensi  dasar  yang  dikembangkan  oleh  Badan Standar  Sistem  Pendidikan (BSNP).
Masnur  Muslich  (2010:  1)  menyatakan  bahwa  pada  prinsipnya,  KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya  diserahkan  kepada  sekolah  agar  sesuai  dengan  kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi.  Suparlan  (2011: 97)  menyatakan,  konsep  dasar  KTSP  meliputi  tiga aspek  yang  saling  terkait,  yaitu  (a)  kegiatan  pembelajaran,  (b)  penilaian,  (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Kegiatan pembelajaran  dalam  KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c) menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e) menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat. Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1.    Berpusat pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum  dikembangkan  berdasarkan  prinsip  bahwa  peserta  didik  memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta  didik  serta  tuntutan lingkungan.
2.    Beragam dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta  didik,  kondisi  daerah,  dan  jenjang  serta  jenis  pendidikan,  tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib  kurikulum, muatan  lokal,  dan  pengembangan  diri  secara  terpadu,  serta  disusun  dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3.    Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik  untuk  mengikuti  dan  memanfaatkan  secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4.    Relevan dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena  itu,  pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan pengembangan integritas  pribadi, kecerdasan spiritual, keterampilan berpikir (thinking  skill),  kreatifitas  sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan vokasional.
5.    Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi  kurikulum  mencakup  keseluruhan  dimensi  kompetensi,  bidang kajian  keilmuan,  dan  mata  pelajaran  yang  direncanakan  dan  disajikan  secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
6.    Belajar sepanjang hayat.
Kurikulum  diarahkan  kepada  proses  pengembangan,  pembudayaan,  dan pemberdayaan  peserta  didik  yang  berlangsung  sepanjang  hayat.  Kurikulum mencerminkan  keterkaitan  antara  unsur-unsur  pendidikan  formal,  informal,  dan nonformal,  dengan memperhatikan kondisi  dan tuntutan lingkungan  yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7.    Seimbang antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global,  nasional,  dan  lokal  harus  saling  mengisi  dan memberdayakan  sejalan  dengan  perkembangan  era  globalisasi  dengan  tetap berpegang  pada  motto  Bhineka Tunggal  Ika  dalam  kerangka  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.  Penerapan pembelajaran oleh Guru di sekolah

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1.    Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
a.    Hakekat manusia:
b.    Manusia adalahü makhluk jasmani rohani
c.    Manusia adalah makhluk individual sosialü
d.    Manusia adalah makhluk yang bebas
e.    Manusia adalah makhluk menyejarahü


2.    Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

3.    Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a.    Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b.    Keyakinan mengenai siswa
Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.

c.    Keyakinan mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d.    Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda dalam meyakini apa yang harus diajarkan.

C.  Evaluasi pembelajaran di Sekolah

Evaluasi mempunyai arti yang berbeda untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro (1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan, seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono, Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192).  Selain istilah evaluasi, terdapat juga istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan, dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat (1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar. Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran (measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1.    Diukur dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2.    Melalui tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru. Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Memiliki implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2.    Lebih bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang guru.
3.    Mempunyai sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2 milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963 : 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to appraise a product already on the market”.  Cronbach nampaknya lebih menekankan  fungsi  evaluasi  untuk  perbaikan,  sedangkan  Scriven  (1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi sumatif dihubungkan dengan  penyimpulan  mengenai  kebaikan  dari  sistem  secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai. Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1.      Secara psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru) sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi  pada  situasi  tertentu.  Dalam  menentukan  sikap  dan  tingkah lakunya,  mereka  pada  umumnya  tidak  berpegang  kepada  pedoman  yang berasal dari dalam dirinya, melainkan mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran, mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan.
2.      Secara  sosiologis,  evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya. Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.      Secara  didaktis-metodis,  evaluasi  berfungsi  untuk  membantu  guru  dalam menempatkan  peserta  didik  pada  kelompok  tertentu  sesuai  dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  kedudukan  peserta  didik  dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga. Anda dan orang tua perlu  mengetahui  kemajuan  peserta  didik  untuk  menentukan  langkah-langkah selanjutnya.
5.      Evaluasi  berfungsi  untuk  mengetahui  taraf  kesiapan  peserta  didik  dalam menempuh  program  pendidikannya.  Jika  peserta  didik  sudah  dianggap siap  (fisik  dan  non-fisik),  maka  program  pendidikan  dapat  dilaksanakan. Sebaliknya,  jika  peserta  didik  belum  siap,  maka  hendaknya  program pendidikan  tersebut  jangan  dulu  diberikan,  karena  akan  mengakibatkan hasil yang kurang memuaskan.
6.      Evaluasi  berfungsi  membantu  guru  dalam  memberikan  bimbingan  dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat mengetahui potensi peserta didik, sehingga  dapat  memberikan  bimbingan  sesuai  dengan  tujuan  yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik belum menguasai  kompetensi  yang  ditentukan,  maka  peserta  didik  tersebut jangan dinaikkan ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih profesional.
7.      Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat  memberikan  gambaran  secara  umum  tentang  semua  hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6) mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.

D.  Penerapan evaluasi di Sekolah

Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi  tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.  Dengan informasi ini, guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah  apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi  yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan. Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan, penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan, penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko (1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak. Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang dievaluasi.
Berbeda dengan Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously. Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya, sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954) menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986) menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan, pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual, angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0 sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai 100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri, menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya, Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara lain:
Tes adalah prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka (scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c) setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam kondisi yang sebanding.
Tes berisi sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
Tes mengukur perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu. Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment) digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada level yang luas.
Persamaan evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai  pengertian  menilai  atau menentukan  nilai  sesuatu.  Di  samping  itu,  alat  yang  digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian atau  terlibat  dalam  sistem  pembelajaran  yang  bersangkutan.  Misalnya, guru  menilai  prestasi  belajar  peserta  didik,  supervisor  menilai  kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem kurikulum, sistem pembelajaran) dan  dapat  dilakukan  tidak  hanya  pihak  internal  (evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal), seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran  lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran  (quantitative description), tetapi  dapat  pula  didasarkan kepada hasil pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015). Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran. Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan (Pasaribu, 2015).
Yang menjadi landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu, sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja, tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna. Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia) merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan.
Semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari alam ini.
Berpikir mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra, 2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan (psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu, diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi. Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom (Umam, 2015).
Guru pada hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik, bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara  administratif,  evaluasi  berfungsi  untuk  memberikan  laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi  dapat memberikan gambaran secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan (Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status dalam kelompoknya.
Ditinjau dari pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya (Hasan, 2014).
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Secara  sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi  untuk  mengetahui  apakah  peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya (Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana, 2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal, 2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa (Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk  mengetahui efesiensi dan efektivitas transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif. Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011). Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang terukur.
Seringkali orang atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar kepada peserta didik.
Evaluasi bagi peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif, afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru, peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi, 2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.

BAB III

KESIMPULAN

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.


butuh referensi judul  
klik
.
.
.
http://andiwani.blogspot.co.id

atau 
via wa,,, step by step penulisan tugas akhir 
wa ; 0853 4108 1000 



DAFTAR PUSTAKA


Alimudin. 2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen, M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin, Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Asifuddin, A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles, C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement: to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education, Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi, Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber: http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar, Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zahiri, Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Indonesia”. Sumber: http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Djuwita, Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan, W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3, Issue 3.
Hasan, Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal. 2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011, artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal. 2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen, M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report, Harcourt Assessment.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti, Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
 ran Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti, Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.








DAFTAR PUSTAKA


Alimudin. 2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen, M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin, Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Asifuddin, A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles, C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement: to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education, Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi, Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber: http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar, Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zahiri, Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Indonesia”. Sumber: http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Djuwita, Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan, W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3, Issue 3.
Hasan, Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html. Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal. 2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011, artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal. 2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen, M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report, Harcourt Assessment.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti, Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.



0 Komentar untuk "MAKALAH FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN"

Back To Top