PENDAHULUAN
A. Latar
Bekang Masalah
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila
kita membicarakan filsafat maka
pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa
itu semua ilmu dinamakan
filsafat. Dari Yunanilah
kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”.
“Philos” artinya cinta yang sangat mendalam
dan “sophia” artinya
kebijakan atau kearifan.
Istilah filsafat sering dipergunakan
secara populer dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara
sadar maupun tidak
sadar. Dalam penggunaan
populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup
(individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat
(masyarakat). Mungkin anda
pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan:
“filsafat hidup saya
adalah hidup seperti
oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi
mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”. Hal ini adalah contoh sederhana tentang
filsafat seseorang.
Selain itu,
masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena
manusia itu makhluk
sosial, maka dalam
hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada
nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal
ini yang disebut
filsafat atau pandangan
hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat
bangsa. Henderson (via Sadulloh,
2007:16) mengemukakan: “Populerly,
philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values,
in the sense everyone has a philosophy of life”.
Filsafat
bersifat sistematis artinya
pernyataan-pernyataan atau kajian-kajiannya menunjukkan
adanya hubungan satu
sama lain, saling
berkait dan bersifat koheren
(runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang
menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal:
aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman.
Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena
ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera)
yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi
pengetahuan.
B. Rumusan
Masalah
1. Penerapan
kurikulum di Sekolah?
2. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah?
4. Penerapan
evaluasi di Sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum
di Sekolah Dasar
Dalam
Standar Nasional Pendidikan
(SNP) pasal 1
ayat 15 (Mulyasa,
2010: 15) dikemukakan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dengan
memperhatikan dan berdasarkan
standar kompetensi serta kompetensi dasar
yang dikembangkan oleh
Badan Standar Sistem Pendidikan (BSNP).
Masnur
Muslich (2010: 1)
menyatakan bahwa pada
prinsipnya, KTSP merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya diserahkan
kepada sekolah agar
sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri
dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan
strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif,
produktif, dan berprestasi.
Suparlan (2011: 97) menyatakan,
konsep dasar KTSP
meliputi tiga aspek yang
saling terkait, yaitu
(a) kegiatan pembelajaran,
(b) penilaian, (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang
meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c)
menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e)
menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat.
Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1. Berpusat
pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan
prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan.
2. Beragam
dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah,
dan jenjang serta
jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi
komponen muatan wajib kurikulum,
muatan lokal, dan
pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat
antarsubstansi.
3. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong
peserta didik untuk mengikuti
dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan
pengembangan integritas pribadi, kecerdasan
spiritual, keterampilan berpikir (thinking
skill), kreatifitas sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan
vokasional.
5. Menyeluruh
dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan,
dan mata pelajaran
yang direncanakan dan
disajikan secara berkesinambungan
antar semua jenjang pendidikan.
6. Belajar
sepanjang hayat.
Kurikulum diarahkan
kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang
hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal,
informal, dan nonformal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang
antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global, nasional,
dan lokal harus
saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan perkembangan era
globalisasi dengan tetap berpegang pada
motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat
dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu
memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan
pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan
perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi
mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan
hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman
kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam
mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat
pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba
tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan
filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1. Metafisika
Metafisika merupakan
bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat
manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan
menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia
sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala
sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang
hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya
hakekat anak.
a. Hakekat
manusia:
b. Manusia
adalahü makhluk jasmani rohani
c. Manusia
adalah makhluk individual sosialü
d. Manusia
adalah makhluk yang bebas
e. Manusia
adalah makhluk menyejarahü
2. Epistemologi
Kumpulan
pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi.
Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana
kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan
pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran
itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan
apakah yang paling berharga?
Bagaimana
menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi
signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus
menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun
ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan
minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas,
wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru
tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga
bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi
teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus
diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut,
begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang
filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat
kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan
atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai
merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan
aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru
kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada
ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang
orang yang benar-benar terdidik?
Pada
intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya
pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas
kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak
dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan
pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat
pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan,
atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru.
Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan,
yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta
apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat
pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek
pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para
guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat
hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a. Keyakinan
mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat
pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran,
dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran
sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu
seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan
siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan
dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi
siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b. Keyakinan
mengenai siswa
Akan berpengaruh besar
pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari
pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa
menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak
didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat
pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar
dan tumbuh.
c. Keyakinan
mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan
bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan
dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan
potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan
mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya
belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda
dalam meyakini apa yang harus diajarkan.
C. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah
Evaluasi mempunyai arti yang berbeda
untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti
penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi
adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut
menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama
konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering
didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa
penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran
berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu
instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu
kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro
(1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan,
seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk
menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah
ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back)
bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono,
Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192). Selain istilah evaluasi, terdapat juga
istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi,
dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara
langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat
dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah
evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar
mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan,
dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises
evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa
perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa
perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat
evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan
menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat
(1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga,
dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi
perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga
ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang
menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang
dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan
kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi.
Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi
hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan
atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya
informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi
guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya.
Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal
mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi
yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk
menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan
skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru
dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi
satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti
diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi
sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil
pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi
siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang
demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas
dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi
pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada
pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa
dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar.
Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran
(measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1. Diukur
dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2. Melalui
tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan
pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes
dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan
deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan
tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah
bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi
tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan
pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk
menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi
laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak
berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena
adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru.
Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya
empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor
eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau
atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan
dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak
mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara
sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi
kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar
mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Memiliki
implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi
misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak
dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek
penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi
mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2. Lebih
bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu
maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang
dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang
guru.
3. Mempunyai
sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok
ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan
tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur
objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan
memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur
dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2
milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang
lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai
fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963
: 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still
fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to
appraise a product already on the market”.
Cronbach nampaknya lebih menekankan
fungsi evaluasi untuk
perbaikan, sedangkan Scriven
(1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi
formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang
diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu
atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi
sumatif dihubungkan dengan
penyimpulan mengenai kebaikan
dari sistem secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat
dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai.
Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita
melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1. Secara
psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan
yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik
adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang
heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru)
sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi pada
situasi tertentu. Dalam
menentukan sikap dan
tingkah lakunya, mereka pada
umumnya tidak berpegang
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan
mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran,
mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan
ketenangan.
2. Secara sosiologis,
evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya.
Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan
semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya
peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap
institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Secara didaktis-metodis, evaluasi
berfungsi untuk membantu
guru dalam menempatkan peserta
didik pada kelompok
tertentu sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing
serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui kedudukan
peserta didik dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang
pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan
keluarga. Anda dan orang tua perlu
mengetahui kemajuan peserta
didik untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
5. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui taraf
kesiapan peserta didik
dalam menempuh program pendidikannya. Jika
peserta didik sudah
dianggap siap (fisik dan
non-fisik), maka program
pendidikan dapat dilaksanakan. Sebaliknya, jika
peserta didik belum
siap, maka hendaknya
program pendidikan tersebut jangan
dulu diberikan, karena
akan mengakibatkan hasil yang
kurang memuaskan.
6. Evaluasi berfungsi
membantu guru dalam
memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka menentukan
jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat
mengetahui potensi peserta didik, sehingga
dapat memberikan bimbingan
sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik
belum menguasai kompetensi yang
ditentukan, maka peserta
didik tersebut jangan dinaikkan
ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil
keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih
profesional.
7. Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat
pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu
sendiri. Hasil evaluasi dapat memberikan
gambaran secara umum
tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi
pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6)
mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang
dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi
instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.
D. Penerapan
evaluasi di Sekolah
Dalam bagian ini
akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan
pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal
sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi
merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru
sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang
dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan
keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Dengan informasi ini,
guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan.
Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk
berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli
memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum
para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan,
penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan
keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan
kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan,
penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh
tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko
(1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang
kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip
Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian
informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak.
Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai
proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan,
yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang
dievaluasi.
Berbeda dengan
Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan
James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in
the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously.
Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia
juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami
karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan
kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu
program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian
antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan
untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan
pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih
menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu
tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan
tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau
dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya,
sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut
Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu
objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai
hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954)
menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events
according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga
mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986)
menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan,
pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan
kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara
kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan
pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada
hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang
diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual,
angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari
suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang
diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0
sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai
100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka
pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku
secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan
sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri
dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat
dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri,
menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang
objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya,
Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk
mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala
numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat
mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara
lain:
Tes adalah
prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara
dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka
(scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c)
setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam
kondisi yang sebanding.
Tes berisi
sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang
ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin
ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir
dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang
diukur.
Tes mengukur
perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan
apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab
pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan
bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara
evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama
digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk
menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu
sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan
pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan
pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa
antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu.
Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment)
digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara
internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem
yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor
menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi
bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang
disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada
level yang luas.
Persamaan
evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai pengertian
menilai atau menentukan nilai
sesuatu. Di samping
itu, alat yang
digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya
terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian
lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek
saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya
dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian
atau terlibat dalam
sistem pembelajaran yang
bersangkutan. Misalnya, guru menilai
prestasi belajar peserta
didik, supervisor menilai
kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas,
mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem
kurikulum, sistem pembelajaran) dan
dapat dilakukan tidak
hanya pihak internal
(evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal),
seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan
penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes
merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat
kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning
progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di
samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses
membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value
judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), tetapi dapat
pula didasarkan kepada hasil
pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara
filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu
dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level
yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015).
Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat
mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang
dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang
tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik
diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan
salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian
harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya,
bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari
sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu
ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional
selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah
dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi
tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran.
Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan
proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi
pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan
(Pasaribu, 2015).
Yang menjadi
landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah
bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi
manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu
dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan
kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula
menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam
proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses
penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta
obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan
tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan
meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu,
sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial
ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara
filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam
pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja,
tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna.
Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan
manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi
dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi
mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan
dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu
sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus
mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir,
kemanusiaan manusia pun tidak punya
makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga
memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan
selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan
berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah
mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia)
merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan
itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih
luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami
dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di
samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam
Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu
menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi
kehidupan.
Semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan
berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut,
pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan
pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan
dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan
dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua
itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia
(sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk
berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang
terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan
berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk
lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka
bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada
dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari alam ini.
Berpikir
mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar
pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra,
2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan
diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan
(psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu,
diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya
ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi
berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang
pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam
domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi
pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada
pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah
domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah
konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom
(Umam, 2015).
Guru pada
hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam
setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses
pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik,
bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini
karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui
sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi
peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil
yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran
dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran
adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa
evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah
yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil
evaluasi dapat memberikan gambaran
secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan
(Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi
merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap
sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh
perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan
mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita
dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah
menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui
seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada
perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu
proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi
pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi
data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau
menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai
dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan
dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari
anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide
dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri
dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada
norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di
dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan
mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status
dalam kelompoknya.
Ditinjau dari
pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai
kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara
psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik
profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara
psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau
kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya
(Hasan, 2014).
Evaluasi harus
dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan
para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para
guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada
akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang
terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan
banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka
dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya
dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal
ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan
siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan
program seperti yang direncanakan.
Secara sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan
makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya
(Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan
mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena
mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran
tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana,
2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah
makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan
proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan
manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan
manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka
diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses
pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal,
2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk
dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam
proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa
(Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran
seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya
komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi
dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk mengetahui efesiensi dan efektivitas
transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap
bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah
siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil
diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan
untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan
balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan
kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila
diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada
proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian
jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif.
Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan
memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap
proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan
juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan
dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala
informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada
dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk
perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam
pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan
kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara
filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap
sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah
berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran
indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu
diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi
problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011).
Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal
dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang
bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus
dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses
evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan
mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan
pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula
penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang
lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang
terukur.
Seringkali orang
atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini
menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan
sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi
sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi
dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu
objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi
terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak
dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal
tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang
seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil
contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan
gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan
seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana
evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam
menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar
kepada peserta didik.
Evaluasi bagi
peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu
memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi
pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi
yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar
tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif,
afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi
baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui
proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek
pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru,
peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan
persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang
perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi
untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh
dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi,
2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka
itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju
keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik
menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi
institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan
ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua
murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa
depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk
membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua
peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya
tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target
pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian
landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia
pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh
nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.
BAB III
KESIMPULAN
Peran
filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui
hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya
dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi
guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya
kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan
tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat
keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu:
Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa
yang perlu diketahui.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Bekang Masalah
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila
kita membicarakan filsafat maka
pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa
itu semua ilmu dinamakan
filsafat. Dari Yunanilah
kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”.
“Philos” artinya cinta yang sangat mendalam
dan “sophia” artinya
kebijakan atau kearifan.
Istilah filsafat sering dipergunakan
secara populer dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara
sadar maupun tidak
sadar. Dalam penggunaan
populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup
(individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat
(masyarakat). Mungkin anda
pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan:
“filsafat hidup saya
adalah hidup seperti
oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi
mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”. Hal ini adalah contoh sederhana tentang
filsafat seseorang.
Selain itu,
masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena
manusia itu makhluk
sosial, maka dalam
hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada
nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal
ini yang disebut
filsafat atau pandangan
hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat
bangsa. Henderson (via Sadulloh,
2007:16) mengemukakan: “Populerly,
philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values,
in the sense everyone has a philosophy of life”.
Filsafat
bersifat sistematis artinya
pernyataan-pernyataan atau kajian-kajiannya menunjukkan
adanya hubungan satu
sama lain, saling
berkait dan bersifat koheren
(runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang
menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal:
aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman.
Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena
ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera)
yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi
pengetahuan.
B. Rumusan
Masalah
1. Penerapan
kurikulum di Sekolah?
2. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah?
4. Penerapan
evaluasi di Sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum
di Sekolah Dasar
Dalam
Standar Nasional Pendidikan
(SNP) pasal 1
ayat 15 (Mulyasa,
2010: 15) dikemukakan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dengan
memperhatikan dan berdasarkan
standar kompetensi serta kompetensi dasar
yang dikembangkan oleh
Badan Standar Sistem Pendidikan (BSNP).
Masnur
Muslich (2010: 1)
menyatakan bahwa pada
prinsipnya, KTSP merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya diserahkan
kepada sekolah agar
sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri
dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan
strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif,
produktif, dan berprestasi.
Suparlan (2011: 97) menyatakan,
konsep dasar KTSP
meliputi tiga aspek yang
saling terkait, yaitu
(a) kegiatan pembelajaran,
(b) penilaian, (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang
meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c)
menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e)
menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat.
Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1. Berpusat
pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan
prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan.
2. Beragam
dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah,
dan jenjang serta
jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi
komponen muatan wajib kurikulum,
muatan lokal, dan
pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat
antarsubstansi.
3. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong
peserta didik untuk mengikuti
dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan
pengembangan integritas pribadi, kecerdasan
spiritual, keterampilan berpikir (thinking
skill), kreatifitas sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan
vokasional.
5. Menyeluruh
dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan,
dan mata pelajaran
yang direncanakan dan
disajikan secara berkesinambungan
antar semua jenjang pendidikan.
6. Belajar
sepanjang hayat.
Kurikulum diarahkan
kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang
hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal,
informal, dan nonformal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang
antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global, nasional,
dan lokal harus
saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan perkembangan era
globalisasi dengan tetap berpegang pada
motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat
dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu
memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan
pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan
perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi
mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan
hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman
kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam
mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat
pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba
tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan
filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1. Metafisika
Metafisika merupakan
bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat
manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan
menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia
sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala
sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang
hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya
hakekat anak.
a. Hakekat
manusia:
b. Manusia
adalahü makhluk jasmani rohani
c. Manusia
adalah makhluk individual sosialü
d. Manusia
adalah makhluk yang bebas
e. Manusia
adalah makhluk menyejarahü
2. Epistemologi
Kumpulan
pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi.
Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana
kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan
pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran
itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan
apakah yang paling berharga?
Bagaimana
menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi
signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus
menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun
ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan
minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas,
wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru
tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga
bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi
teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus
diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut,
begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang
filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat
kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan
atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai
merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan
aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru
kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada
ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang
orang yang benar-benar terdidik?
Pada
intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya
pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas
kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak
dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan
pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat
pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan,
atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru.
Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan,
yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta
apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat
pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek
pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para
guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat
hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a. Keyakinan
mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat
pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran,
dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran
sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu
seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan
siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan
dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi
siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b. Keyakinan
mengenai siswa
Akan berpengaruh besar
pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari
pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa
menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak
didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat
pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar
dan tumbuh.
c. Keyakinan
mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan
bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan
dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan
potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan
mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya
belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda
dalam meyakini apa yang harus diajarkan.
C. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah
Evaluasi mempunyai arti yang berbeda
untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti
penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi
adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut
menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama
konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering
didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa
penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran
berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu
instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu
kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro
(1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan,
seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk
menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah
ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back)
bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono,
Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192). Selain istilah evaluasi, terdapat juga
istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi,
dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara
langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat
dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah
evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar
mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan,
dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises
evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa
perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa
perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat
evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan
menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat
(1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga,
dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi
perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga
ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang
menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang
dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan
kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi.
Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi
hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan
atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya
informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi
guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya.
Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal
mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi
yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk
menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan
skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru
dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi
satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti
diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi
sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil
pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi
siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang
demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas
dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi
pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada
pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa
dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar.
Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran
(measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1. Diukur
dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2. Melalui
tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan
pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes
dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan
deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan
tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah
bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi
tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan
pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk
menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi
laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak
berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena
adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru.
Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya
empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor
eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau
atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan
dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak
mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara
sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi
kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar
mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Memiliki
implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi
misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak
dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek
penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi
mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2. Lebih
bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu
maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang
dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang
guru.
3. Mempunyai
sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok
ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan
tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur
objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan
memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur
dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2
milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang
lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai
fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963
: 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still
fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to
appraise a product already on the market”.
Cronbach nampaknya lebih menekankan
fungsi evaluasi untuk
perbaikan, sedangkan Scriven
(1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi
formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang
diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu
atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi
sumatif dihubungkan dengan
penyimpulan mengenai kebaikan
dari sistem secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat
dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai.
Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita
melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1. Secara
psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan
yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik
adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang
heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru)
sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi pada
situasi tertentu. Dalam
menentukan sikap dan
tingkah lakunya, mereka pada
umumnya tidak berpegang
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan
mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran,
mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan
ketenangan.
2. Secara sosiologis,
evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya.
Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan
semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya
peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap
institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Secara didaktis-metodis, evaluasi
berfungsi untuk membantu
guru dalam menempatkan peserta
didik pada kelompok
tertentu sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing
serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui kedudukan
peserta didik dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang
pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan
keluarga. Anda dan orang tua perlu
mengetahui kemajuan peserta
didik untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
5. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui taraf
kesiapan peserta didik
dalam menempuh program pendidikannya. Jika
peserta didik sudah
dianggap siap (fisik dan
non-fisik), maka program
pendidikan dapat dilaksanakan. Sebaliknya, jika
peserta didik belum
siap, maka hendaknya
program pendidikan tersebut jangan
dulu diberikan, karena
akan mengakibatkan hasil yang
kurang memuaskan.
6. Evaluasi berfungsi
membantu guru dalam
memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka menentukan
jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat
mengetahui potensi peserta didik, sehingga
dapat memberikan bimbingan
sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik
belum menguasai kompetensi yang
ditentukan, maka peserta
didik tersebut jangan dinaikkan
ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil
keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih
profesional.
7. Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat
pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu
sendiri. Hasil evaluasi dapat memberikan
gambaran secara umum
tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi
pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6)
mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang
dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi
instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.
D. Penerapan
evaluasi di Sekolah
Dalam bagian ini
akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan
pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal
sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi
merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru
sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang
dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan
keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Dengan informasi ini,
guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan.
Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk
berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli
memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum
para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan,
penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan
keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan
kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan,
penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh
tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko
(1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang
kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip
Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian
informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak.
Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai
proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan,
yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang
dievaluasi.
Berbeda dengan
Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan
James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in
the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously.
Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia
juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami
karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan
kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu
program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian
antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan
untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan
pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih
menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu
tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan
tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau
dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya,
sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut
Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu
objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai
hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954)
menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events
according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga
mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986)
menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan,
pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan
kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara
kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan
pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada
hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang
diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual,
angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari
suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang
diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0
sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai
100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka
pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku
secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan
sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri
dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat
dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri,
menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang
objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya,
Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk
mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala
numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat
mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara
lain:
Tes adalah
prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara
dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka
(scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c)
setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam
kondisi yang sebanding.
Tes berisi
sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang
ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin
ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir
dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang
diukur.
Tes mengukur
perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan
apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab
pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan
bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara
evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama
digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk
menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu
sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan
pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan
pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa
antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu.
Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment)
digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara
internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem
yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor
menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi
bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang
disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada
level yang luas.
Persamaan
evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai pengertian
menilai atau menentukan nilai
sesuatu. Di samping
itu, alat yang
digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya
terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian
lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek
saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya
dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian
atau terlibat dalam
sistem pembelajaran yang
bersangkutan. Misalnya, guru menilai
prestasi belajar peserta
didik, supervisor menilai
kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas,
mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem
kurikulum, sistem pembelajaran) dan
dapat dilakukan tidak
hanya pihak internal
(evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal),
seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan
penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes
merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat
kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning
progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di
samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses
membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value
judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), tetapi dapat
pula didasarkan kepada hasil
pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara
filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu
dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level
yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015).
Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat
mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang
dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang
tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik
diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan
salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian
harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya,
bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari
sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu
ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional
selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah
dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi
tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran.
Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan
proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi
pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan
(Pasaribu, 2015).
Yang menjadi
landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah
bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi
manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu
dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan
kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula
menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam
proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses
penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta
obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan
tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan
meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu,
sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial
ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara
filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam
pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja,
tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna.
Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan
manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi
dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi
mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan
dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu
sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus
mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir,
kemanusiaan manusia pun tidak punya
makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga
memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan
selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan
berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah
mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia)
merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan
itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih
luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami
dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di
samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam
Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu
menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi
kehidupan.
Semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan
berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut,
pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan
pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan
dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan
dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua
itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia
(sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk
berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang
terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan
berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk
lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka
bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada
dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari alam ini.
Berpikir
mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar
pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra,
2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan
diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan
(psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu,
diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya
ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi
berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang
pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam
domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi
pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada
pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah
domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah
konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom
(Umam, 2015).
Guru pada
hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam
setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses
pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik,
bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini
karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui
sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi
peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil
yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran
dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran
adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa
evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah
yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil
evaluasi dapat memberikan gambaran
secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan
(Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi
merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap
sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh
perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan
mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita
dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah
menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui
seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada
perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu
proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi
pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi
data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau
menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai
dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan
dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari
anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide
dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri
dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada
norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di
dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan
mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status
dalam kelompoknya.
Ditinjau dari
pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai
kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara
psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik
profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara
psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau
kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya
(Hasan, 2014).
Evaluasi harus
dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan
para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para
guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada
akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang
terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan
banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka
dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya
dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal
ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan
siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan
program seperti yang direncanakan.
Secara sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan
makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya
(Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan
mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena
mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran
tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana,
2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah
makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan
proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan
manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan
manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka
diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses
pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal,
2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk
dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam
proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa
(Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran
seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya
komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi
dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk mengetahui efesiensi dan efektivitas
transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap
bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah
siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil
diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan
untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan
balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan
kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila
diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada
proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian
jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif.
Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan
memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap
proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan
juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan
dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala
informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada
dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk
perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam
pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan
kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara
filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap
sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah
berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran
indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu
diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi
problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011).
Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal
dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang
bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus
dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses
evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan
mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan
pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula
penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang
lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang
terukur.
Seringkali orang
atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini
menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan
sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi
sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi
dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu
objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi
terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak
dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal
tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang
seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil
contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan
gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan
seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana
evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam
menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar
kepada peserta didik.
Evaluasi bagi
peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu
memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi
pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi
yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar
tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif,
afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi
baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui
proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek
pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru,
peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan
persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang
perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi
untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh
dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi,
2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka
itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju
keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik
menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi
institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan
ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua
murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa
depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk
membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua
peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya
tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target
pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian
landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia
pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh
nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.
BAB III
KESIMPULAN
Peran
filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui
hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya
dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi
guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya
kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan
tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat
keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu:
Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa
yang perlu diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Alimudin.
2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen,
M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin,
Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto,
Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis
bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto,
Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Asifuddin,
A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles,
C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement:
to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education,
Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi,
Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber:
http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar,
Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Az-Zahiri,
Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Pendidikan Indonesia”. Sumber:
http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto.
1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di
Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Djuwita,
Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan,
W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in
Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3,
Issue 3.
Hasan,
Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal.
2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011,
artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal.
2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal
JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen,
M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report,
Harcourt Assessment.
PeratuDAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Bekang Masalah
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila
kita membicarakan filsafat maka
pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa
itu semua ilmu dinamakan
filsafat. Dari Yunanilah
kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”.
“Philos” artinya cinta yang sangat mendalam
dan “sophia” artinya
kebijakan atau kearifan.
Istilah filsafat sering dipergunakan
secara populer dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara
sadar maupun tidak
sadar. Dalam penggunaan
populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup
(individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat
(masyarakat). Mungkin anda
pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan:
“filsafat hidup saya
adalah hidup seperti
oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri”. Orang lain lagi
mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia”. Hal ini adalah contoh sederhana tentang
filsafat seseorang.
Selain itu,
masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena
manusia itu makhluk
sosial, maka dalam
hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada
nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal
ini yang disebut
filsafat atau pandangan
hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat
bangsa. Henderson (via Sadulloh,
2007:16) mengemukakan: “Populerly,
philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values,
in the sense everyone has a philosophy of life”.
Filsafat
bersifat sistematis artinya
pernyataan-pernyataan atau kajian-kajiannya menunjukkan
adanya hubungan satu
sama lain, saling
berkait dan bersifat koheren
(runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang
menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal:
aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman.
Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena
ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera)
yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi
pengetahuan.
B. Rumusan
Masalah
1. Penerapan
kurikulum di Sekolah?
2. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah?
3. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah?
4. Penerapan
evaluasi di Sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum
di Sekolah Dasar
Dalam
Standar Nasional Pendidikan
(SNP) pasal 1
ayat 15 (Mulyasa,
2010: 15) dikemukakan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dengan
memperhatikan dan berdasarkan
standar kompetensi serta kompetensi dasar
yang dikembangkan oleh
Badan Standar Sistem Pendidikan (BSNP).
Masnur
Muslich (2010: 1)
menyatakan bahwa pada
prinsipnya, KTSP merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Standar Isi, namun pengembangannya diserahkan
kepada sekolah agar
sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri
dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Mulyasa (2010: 20) menyatakan bahwa KTSP merupakan
strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif,
produktif, dan berprestasi.
Suparlan (2011: 97) menyatakan,
konsep dasar KTSP
meliputi tiga aspek yang
saling terkait, yaitu
(a) kegiatan pembelajaran,
(b) penilaian, (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai beberapa karakteristik yang
meliputi: (a) berpusat pada peserta didik, (b) mengembangkan kreativitas, (c)
menciptakan kondisi yang menyenangkan danmenantang, (d) kontekstual, (e)
menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan (f) belajar melalui berbuat.
Adapun prinsip pengembangan kurikulum diuraikan sebagai berikut:
1. Berpusat
pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan
prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendudukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan.
2. Beragam
dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah,
dan jenjang serta
jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi
komponen muatan wajib kurikulum,
muatan lokal, dan
pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat
antarsubstansi.
3. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
berkembang secara dinamis. Oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong
peserta didik untuk mengikuti
dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan hidup dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan dan memperhatikan
pengembangan integritas pribadi, kecerdasan
spiritual, keterampilan berpikir (thinking
skill), kreatifitas sosial, kemampuan akademik, dan keterampilan
vokasional.
5. Menyeluruh
dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan,
dan mata pelajaran
yang direncanakan dan
disajikan secara berkesinambungan
antar semua jenjang pendidikan.
6. Belajar
sepanjang hayat.
Kurikulum diarahkan
kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang
hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal,
informal, dan nonformal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang
antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan global, nasional, dan lokal untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan global, nasional,
dan lokal harus
saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan perkembangan era
globalisasi dengan tetap berpegang pada
motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B. Penerapan
pembelajaran oleh Guru di sekolah
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat
dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu
memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan
pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan
perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi
mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan
hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman
kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam
mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat
pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba
tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Peranan
filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1. Metafisika
Metafisika merupakan
bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat
manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan
menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia
sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala
sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang
hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya
hakekat anak.
a. Hakekat
manusia:
b. Manusia
adalahü makhluk jasmani rohani
c. Manusia
adalah makhluk individual sosialü
d. Manusia
adalah makhluk yang bebas
e. Manusia
adalah makhluk menyejarahü
2. Epistemologi
Kumpulan
pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi.
Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana
kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan
pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran
itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan
apakah yang paling berharga?
Bagaimana
menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi
signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus
menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun
ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan
minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas,
wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru
tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga
bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi
teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus
diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut,
begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang
filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat
kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan
atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai
merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan
aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru
kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada
ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang
orang yang benar-benar terdidik?
Pada
intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya
pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas
kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak
dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan
pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat
pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan,
atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru.
Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan,
yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta
apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.
Filsafat
pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek
pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para
guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat
hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a. Keyakinan
mengenai pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat
pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran,
dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran
sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu
seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan
siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan
dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi
siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b. Keyakinan
mengenai siswa
Akan berpengaruh besar
pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari
pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa
menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak
didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat
pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar
dan tumbuh.
c. Keyakinan
mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan
bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan
dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan
potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan
mengenai apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya
belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda
dalam meyakini apa yang harus diajarkan.
C. Evaluasi
pembelajaran di Sekolah
Evaluasi mempunyai arti yang berbeda
untuk guru yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti
penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi
adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Ia lebih lanjut
menjelaskan bahwa evaluasi yang bersinonim dengan penilaian tidak sama
konsepnya dengan pengukuran dan tes meskipun ketiga konsep ini sering
didapatkan ketika masalah evaluasi pendidikan dibicarakan. Dikatakannya bahwa
penilaian berkaitan dengan aspek kuantitatif dan kualitatif, pengukuran
berkaitan dengan aspek kuantitatif, sedangkan tes hanya merupakan salah satu
instrumen penilaian. Meskipun berbeda, ketiga konsep ini merupakan satu
kesatuan dan saling memerlukan. Hal senada juga disampaikan oleh Nurgiyantoro
(1988) dan Sudijono (2006).
Selanjutnya, ada juga para ahli evaluasi pendidikan,
seperti Sudijono, menyebutkan bahwa evaluasi adalah (1) proses/kegiatan untuk
menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah
ditentukan, (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back)
bagi penyempurnaan pendidikan (Sudijono, 2006:2). Hampir sama dengan Sudijono,
Dimyati dan Mujiono menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan (2006:192). Selain istilah evaluasi, terdapat juga
istilah penilaian, pengukuran, dan tes.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi,
dimana suatu tujuan telah dapat dicapai. Definisi ini menerangkan secara
langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat
dimana suatu tujuan dapat dicapai. Definisi lain yang berkaitan evaluasi adalah
evaluasi merupakan peroses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar
mengajar. Evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan,
dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.
Dalam evaluasi selalu mengandung proses, prises
evaluasi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa
perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dalam bahasa
perilaku, dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat
evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan
menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat
(1), evaluassi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga,
dan program pendidikan. Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi
perhatian para guru adalah tingkah laku yang dapat dikelompokan menjadi tiga
ranah, yaitu pengetahuan intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang
menghasilkan tindakan, dan bentuk lain adalah values dan attitudes atau yang
dikatagorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan
kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi.
Kesalahan utama yang sering terjadi diantara para guru adalah bahwa evaluasi
hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada akhir unit, pertengahan, dan
atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya
informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakukan prediksi
guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya.
Dalam pengembangan intruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal
mungkin dalam suatu kegiatan, dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi
yang banyak tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk
menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
Evaluasi sebaiknya dikerjakan setiap hari dengan
skedul yang sistematis dan terancang. Ini dapat dilakukan oleh seorang guru
dengan menempatkan secara integral evaluasi dalam perencanaan dan implementasi
satuan pelajaran materi pembelajaran. Bagian penting lainnya yang mesti
diperhatikan oleh seorang guru adalah perlunya melibatkan siswa dalam evaluasi
sehingga mereka secara sadar dapat mengenali perkembangan pencapaian hasil
pembelajaran mereka. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi
siswa sebagai individu maupun posisinya didalam kegiatan kelompok. Hal yang
demikian perlu disadari oleh seorang guru karena pada umumnya siswa masuk kelas
dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi
pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biassa dan ada
pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa
dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai akhir belajar.
Pencapaian belajar ini dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran
(measurement). Pencapaian belajar siswa dapat diukur dengan dua cara yaitu :
1. Diukur
dengan mengetahui tingkat ketercapaian standar yang ditentuka
2. Melalui
tugas-tugas yang dapat diselesaikan siswa secara tuntas
Mengukur pencapaian hasil belajar dapat melibatkan
pengukuran secara kuantitatif yang menghasilkan data kuantitatif misalnya tes
dan skor, dan dapat pula mengukurdengan data kualitatif yang menghasilkan
deskripsi tentang subjek atau objeek yang diukur, misalnya rendah, medium,dan
tinggi. Jadi, kegiatan mengukur atau biasa disebut pengukuran tidak lain adalah
bagian evaluasi yang memiliki tujuan untuk menghasilkan data, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi
tingkah laku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan
pertumbuhan sisiwa, disamping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk
menempatkan posisi seorang siwa dalam kelompok atau kelasnya.
Ada kecendrungan bahwa sebagian guru melengkapi
laporan evaluasinya dangan evaluasi kualitatif yang didalamnya lebih banyak
berisi informasi kualitatif. Evaluasi kualitatif tidak selalu tepat, karena
adanya faktor judgment atau pertimbangan subjektivitas yang dibuat oleh guru.
Judgment tersebut biasanya bisa bervariasi dari waktu kewaktu karena
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari internal guru, misalnya
empati, rasa iba, dan kedekatan hubungan dengan peserta didik maupun faktor
eksternal guru, seperti kebijakan sekolah, faktor kolegial sesama guru atau
atas nama citra lembaga. Ada pengaman agar penilaian kualitatif dapat dilakukan
dengan baik, diantaranya adalah gunakan secara proporsional dengan tidak
mengabaikan informasi yang berupa angka,dismping itu, gunakan pula secara
sistematis pertimbangan orang lain atau mitra bestari untuk menilai evaluasi
kualitatif.
Kegiatan evaluasi dalam proses belajar mengajar
mempunyai beberapa karakteristik penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Memiliki
implikasi tidak langsung terhadap siswa yang dievaluasi. Hal ini terjadi
misalnya seorang guru melakukan penilaian terhadap kemampuan yang tidak tampak
dari siswa. Apa yang dilakukan ia lebih banyak menafsir melalui beberapa aspek
penting yang diizinkan seperti melalui penampilan, keterampilan, atau reaksi
mereka terhadap suatu stimulus yang diberikan secara terencana.
2. Lebih
bersifat tidak lengkap. Dikarenakan evaluasi tidak dilakukan secara kontinu
maka hanya merupakan sebagian fenomena saja, atau dengan kata lain, apa yang
dievaluasi hanya sesuai dengan pertanyaan item yang direncanakan oleh seorang
guru.
3. Mempunyai
sifat kebermaknaan relatif, ini berarti hasil penilaian tergantung pada tolok
ukur yang digunakan oleh guru. Disamping itu, evaluasi pun tergantung dengan
tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Sebagai conto, jika kita mengukur
objek dengan penggaris yang mempunyai ketelitian setengah milimeter akan
memperoleh hasil pengukuran yang kasar. Sebaliknya, jika seorng guru mengukur
dengan menggunakan alat mikrometer yang biasanya mempunyai ketelitian 0,2
milimeter maka hasil pengukuran yang dilakukan akan memperoleh hasil ukur yang
lebih teliti.
Disamping karakteristik, evaluasi juga mempunyai
fungsi yang bervariasi didalam proses belajar mengajar. Menurut Cronbach (1963
: 236) menjelaskan “evaluation used to improved the course while it is still
fluid contributes more to improvement of education than evaluation used to
appraise a product already on the market”.
Cronbach nampaknya lebih menekankan
fungsi evaluasi untuk
perbaikan, sedangkan Scriven
(1967) membedakan fungsi evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi
formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang
diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu
atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi
sumatif dihubungkan dengan
penyimpulan mengenai kebaikan
dari sistem secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat
dilaksanakan jika pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai.
Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut mana kita
melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi adalah :
1. Secara
psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui hinggamana kegiatan
yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik
adalah manusia yang belum dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang
heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti orang tua dan guru)
sebagai pedoman baginya untuk mengadakan orientasi pada
situasi tertentu. Dalam
menentukan sikap dan
tingkah lakunya, mereka pada
umumnya tidak berpegang
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan
mengacu kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam pembelajaran,
mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan
ketenangan.
2. Secara sosiologis,
evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya.
Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan mengembangkan
semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya
peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap
institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi pembelajaran harus
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Secara didaktis-metodis, evaluasi
berfungsi untuk membantu
guru dalam menempatkan peserta
didik pada kelompok
tertentu sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing
serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya.
4. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui kedudukan
peserta didik dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang
pandai, sedang atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan
keluarga. Anda dan orang tua perlu
mengetahui kemajuan peserta
didik untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
5. Evaluasi berfungsi
untuk mengetahui taraf
kesiapan peserta didik
dalam menempuh program pendidikannya. Jika
peserta didik sudah
dianggap siap (fisik dan
non-fisik), maka program
pendidikan dapat dilaksanakan. Sebaliknya, jika
peserta didik belum
siap, maka hendaknya
program pendidikan tersebut jangan
dulu diberikan, karena
akan mengakibatkan hasil yang
kurang memuaskan.
6. Evaluasi berfungsi
membantu guru dalam
memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka menentukan
jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat
mengetahui potensi peserta didik, sehingga
dapat memberikan bimbingan
sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Begitu juga tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik
belum menguasai kompetensi yang
ditentukan, maka peserta
didik tersebut jangan dinaikkan
ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini merupakan hasil
keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu mengadakan bimbingan yang lebih
profesional.
7. Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat
pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu
sendiri. Hasil evaluasi dapat memberikan
gambaran secara umum
tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi
pendidikan.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6)
mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran yang
dikatagorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi, yakni “fungsi
instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.
D. Penerapan
evaluasi di Sekolah
Dalam bagian ini
akan dibahas terlebih dahulu landasan filosofis evaluasi pendidikan dan
pembelajaran, yang kemudian diikuti dengan pembahasan landasan yuridis-formal
sistem evaluasi dan standar penilaian.
Evaluasi
merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi, guru
sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang
dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan
keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Dengan informasi ini,
guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian kompetensi yang merupakan indikator penting dari mutu pendidikan.
Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk
berprestasi lebih baik.
Beberapa ahli
memberi pengertian yang sama tentang evaluasi dan penilaian, namun secara umum
para ahli menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Nitko (1996) menjelaskan,
penilaian adalah proses untuk memperoleh informasi dengan tujuan pengambilan
keputusan tentang kebijakan pendidikan, kurikulum, program pendidikan, dan
kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, Linn dan Gronlund (1995) menjelaskan,
penilaian merupakan suatu proses sistematik untuk menentukan seberapa jauh
tujuan pembelajaran telah dicapai siswa.
Menurut Nitko
(1996), evaluasi adalah proses untuk memperoleh informasi guna menimbang
kebaikan kinerja siswa. Hal senada juga disampaikan Tyler yang dikutip
Trespeces (1993). Tyler (1950) mengatakan, evaluasi merupakan proses pencarian
informasi apakah tujuan yang telah ditentukan itu tercapai atau tidak.
Selanjutnya, Djaali (2008) menjelaskan, evaluasi dapat juga diartikan sebagai
proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan,
yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang
dievaluasi.
Berbeda dengan
Nitko dan Cronbach yang membedakan antara evaluasi dan penilaian, McCormick dan
James yang dikutip Fernandes (1984) mengatakan: It is common particularly in
the USA, the use of the term “evaluation” and “assessment” synonymously.
Sependapat dengan McCormick dan James, sebagian ahli pendidikan di Indonesia
juga tidak membedakan antara evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami
karena informasi yang sama digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan
kelulusan seseorang dan untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu
program pendidikan. Hal senada dikemukakan Djaali (2008) bahwa pengertian
antara penilaian dan evaluasi hampir sama; perbedaannya, evaluasi dilakukan
untuk menentukan keberhasilan peserta didik, program pendidikan, satuan
pendidikan, dan komponen-komponen pendidikan lainnya, sedangkan penilaian lebih
menekankan pada penentuan keberhasilan peserta didik. Penilaian merupakan suatu
tindakan atau proses penentuan nilai sesuatu obyek. Penilaian adalah keputusan
tentang nilai. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan hasil pengukuran atau
dapat dipengaruhi oleh hasil pengukuran.
Pada umumnya,
sebelum melaksanakan evaluasi, evaluator terlebih dahulu melakukan pengukuran. Menurut
Ebel (1972), pengukuran adalah pemberian angka pada seseorang atau sesuatu
objek yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat orang atau objek itu mengenai
hal (trait) yang diukur. Sementara itu, Campbell (dalam Guilford, 1954)
menyatakan: measurement as the assignment of numerals to objects or events
according to rules. Sama dengan Campbell, Keeves dan Masters (1999) juga
mengatakan, pengukuran adalah pemberian suatu angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut aturan tertentu. Senada dengan itu, Kerlinger (1986)
menyatakan, pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek atau
kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan. Nunnally (1978) juga menjelaskan,
pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk memberikan angka/bilangan
kepada objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mempresentasikan secara
kuantitatif sifat-sifat objek tersebut.
Senada dengan
pendapat di atas, Djaali (2009) mengemukakan, pengukuran merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk memberi angka pada sesuatu obyek ukur. Mengukur pada
hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi satu-satu antara angka yang
diberikan dan fakta yang diberi angka atau diukur. Secara konseptual,
angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya adalah kontinum yang bergerak dari
suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi yang
diberi angka dari 0 sampai 100, dari negatif ke positif yang diberi angka 0
sampai 100, dari dependen dan ke independen yang juga diberi angka 0 sampai
100, dan sebagainya. Kalau evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif maka
pengukuran bersifat kuantitatif. Alat yang dipergunakan dapat berupa alat baku
secara internasional, seperti meteran, timbangan, stopwatch, termometer dan
sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang dibuat dan dikembangkan sendiri
dengan mengikuti proses pembakuan instrumen.
Pengukuran dapat
dilakukan melalui tes dan dapat pula tidak melalui tes. Tes itu sendiri,
menurut Anastasi (1976) dan Brown (1976), merupakan suatu pengukuran yang
objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sejalan dengan ahli lainnya,
Cronbach (1970) mengatakan, tes adalah prosedur yang sistematis untuk
mengobservasi perilaku seseorang dan mendeskripsikan perilaku itu dengan skala
numerik atau sistem kategori.
Dari pendapat
mengenai tes, Saefuddin (2003) menyimpulkan beberapa pengertian tes, antara
lain:
Tes adalah
prosedur yang sistematis. Maksudnya, (a) butir-butir tes disusun menurut cara
dan aturan tertentu, (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka
(scoring) pada hasilnya harus jelas dan dispesifikkan secara terinci, dan (c)
setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat butir-butir yang dalam
kondisi yang sebanding.
Tes berisi
sampel perilaku. Artinya, (a) betapapun panjangnya suatu tes, butir-buitr yang
ada di dalam tes tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin
ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana butir-butir
dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang
diukur.
Tes mengukur
perilaku. Artinya, butir-butir dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan
apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab
pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dikehendaki oleh tes.
Tadi dikatakan
bahwa sebagian ahli pendidikan di Indonesia juga tidak membedakan antara
evaluasi dan penilaian. Hal ini dapat dipahami karena informasi yang sama
digunakan untuk dua hal, yaitu untuk menentukan kelulusan seseorang dan untuk
menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan. Evaluasi itu
sendiri merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan
pembelajaran. Jadi, evaluasi “kental” nuansanya dengan kegiatan penilaian.
Tidak berlebihan
pula Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2003:1) secara eksplisit mengemukakan bahwa
antara evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu.
Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian (assessment)
digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara
internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem
yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid, atau supervisor
menilai guru. Baik guru maupun supervisor adalah orang-orang yang menjadi
bagian dari sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang
disewa untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada
level yang luas.
Persamaan
evaluasi dengan penilaian adalah keduanya mempunyai pengertian
menilai atau menentukan nilai
sesuatu. Di samping
itu, alat yang
digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya
terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian
lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek
saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya
dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian
atau terlibat dalam
sistem pembelajaran yang
bersangkutan. Misalnya, guru menilai
prestasi belajar peserta
didik, supervisor menilai
kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas,
mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem
kurikulum, sistem pembelajaran) dan
dapat dilakukan tidak
hanya pihak internal
(evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal),
seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan
penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes
merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat
kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning
progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di
samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses
membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value
judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), tetapi dapat
pula didasarkan kepada hasil
pengamatan dan wawancara (qualitative description) (Rahmaseptiana, 2014).
Secara
filosofis, penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu
dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level
yang setinggi-tingginya sesuai dengan potensi peserta didik (Pasaribu, 2015).
Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat secara tepat
mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Penilaian yang
dilakukan harus memiliki asas keadilan dan kesetaraan serta objektivitas yang
tinggi. Keadilan dalam penilaian berarti bahwa setiap peserta didik
diperlakukan sama sehingga penilaian itu tidak menguntungkan atau merugikan
salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian
harus adil dalam arti tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya,
bahasa, dan jender (BSNP, 2005).
Ditinjau dari
sudut profesionalisme tugas pendidik, kegiatan penilaian merupakan salah satu
ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional
selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang telah
dilakukannya. Selain itu, pendidik profesional juga menginginkan informasi
tentang cara atau metode yang sudah digunakannya dalam proses pembelajaran.
Proses penilaian, bagi pendidik, dapat menjadi sebagai tolok ukur keberhasilan
proses pembelajaran. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi
pendidik untuk secara arif memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan
(Pasaribu, 2015).
Yang menjadi
landasan filosofis evaluasi (atau bahasa lainnya: penilaian) tersebut adalah
bahwa proses pendidikan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi siswa menjadi
manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja perlu
dipahami bersama, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan
kebutuhan setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun harus pula
menjadi pemahaman bahwa setiap siswa harus diperlakukan secara adil dalam
proses pendidikan, termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu proses
penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan, kesetaraan serta
obyektivitas yang tinggi (BSNP, 2005).
Pernyataan
tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan
meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu atau sekelompok siswa (Pasaribu, 2015). Di samping itu,
sekali lagi, penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial
ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
Secara
filosofis, ada 5 alasan mendasar perlunya dilaksanakan evaluasi dalam
pendidikan dan pembelajaran, yaitu: manusia sebagai makhluk berpikir, bekerja,
tumbuh dan berkembang, makhluk sebagai sosial, serta makhluk paling sempurna.
Uraiannya sebagai berikut:
Kemampuan
manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi
dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi
mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan
dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu
sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus
mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir,
kemanusiaan manusia pun tidak punya
makna, bahkan mungkin tidak akan pernah ada (Suharsaputra, 2014).
Berpikir juga
memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan
selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan
berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah
mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia)
merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan
itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia. Dalam konteks yang lebih
luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat dipahami
dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan, di
samping kata yatafakkarun (berpikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam
Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu
menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi
kehidupan.
Semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir. Dengan
berpikir, manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut,
pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan
pengetahuan, manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan
dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan
dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik (Suharsaputra, 2014). Semua
itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia
(sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk
berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang
terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan
berpikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk
lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka
bumi, bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada
dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari alam ini.
Berpikir
mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar
pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (Suharsaputra,
2014). Semuanya berangkat dari pengetahuan (kognitif), yang diharapkan akan
diikuti peningkatan domain atau ranah afektif (sikap) dan keterampilan
(psikomotor). Untuk mengetahui peningkatan semua ranah hasil belajar itu,
diperlukan kegiatan evaluasi. Hanya saja, idealnya, yang dievaluasi tidak hanya
ranah kognitif, melainkan semua ranah. Oleh karena itu, ruang lingkup evaluasi
berkaitan dengan objek evaluasi itu sendiri. Jadi, jika objek tersebut tentang
pembelajaran, maka semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran (baik dalam
domain kognitif, afektif maupun psikomotorik) menjadi ruang lingkup evaluasi
pembelajaran itu sendiri. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada
pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah
domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Sedangkan domain psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik. Inilah
konsep mengenai ranah hasil belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom
(Umam, 2015).
Guru pada
hakekatnya merupakan makhluk yang bekerja. Sebagai makhluk yang bekerja, dalam
setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses
pembelajaran yang ia lakukan. Hasil yang dimaksud adalah baik, tidak baik,
bermanfaat, atau tidak bermanfaat, dan lainnya. Pentingnya diketahui hasil ini
karena ia dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui
sejauhmana proses pembelajaran yang dia lakukan dapat mengembangkan potensi
peserta didik. Artinya, apabila pembelajaran yang dilakukannya mencapai hasil
yang baik, pendidik tentu dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran
dan demikian pula sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran
adalah melalui evaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pendidik ini dapat berupa
evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran.
Secara administratif, evaluasi
berfungsi untuk memberikan
laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, pejabat pemerintah
yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri. Hasil
evaluasi dapat memberikan gambaran
secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan
(Hasan, 2014). Ini menggambarkan tentang makhluk yang bekerja.
Evaluasi
merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap
sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh
perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan
mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita
dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah
menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui
seberapa jauh keberhasilan siswa; dan tanpa evaluasi, kita juga tidak akan ada
perubahan menjadi lebih baik. Maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu
proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi
pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi
data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau
menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai
dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan
dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Rahmaseptiana, 2014).
Ditinjau dari
anak didik, anak manusia yang belum dewasa pada umumnya belum mampu memilih ide
dan melaksanakan secara lepas dari pendukung ide tersebut. Mereka belum mandiri
dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya, mereka belum bisa berpegangan
kepada pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan berpedoman kepada
norma-norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu orang dewasa, termasuk di
dalamnya gurunya. Pendapat mengenai belajar dan hasilnya, juga pendidikan
mereka, dijadikan serta pedoman yang pasti, mereka juga ingin mengetahui status
dalam kelompoknya.
Ditinjau dari
pendidik, orangtua atau wali murid adalah orang pertama yang mempunyai
kepentingan mengenai pendidikan anak-anaknya. Oleh karenanya mereka secara
psikologis ingin mengetahui hasil belajar anak-anak mereka. Bagi pendidik
profesional/guru yang diserahi tanggung jawab pendidikan tersebut juga secara
psikologis senantiasa ingin mengetahui hal yang sama. Keberhasilan atau
kegagalan akan mengakibatkan motivasi yang kuat untuk langkah berikutnya
(Hasan, 2014).
Evaluasi harus
dilakukan secara sistematis dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan
para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para
guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat tertentu, seperti pada
akhir unit, pertengahan, dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang
terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan
banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi biasa dalam menentukan posisi mereka
dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya
dilakukan semaksimal mungkin dalam suatu kegiatan (Rahmaseptiana, 2014). Hal
ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan
siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan
program seperti yang direncanakan.
Secara sosiologis, diketahui bahwa manusia merupakan
makhluk sosial. Dalam hal ini evaluasi berfungsi untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun
ke masyarakat. Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya
(Umam, 2015). Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat membina dan
mengembangkan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting, karena
mampu-tidaknya peserta didik terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran
tersendiri terhadap institusi pendidikan yang bersangkutan (Rahmaseptiana,
2014). Untuk itu, materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Manusia adalah
makhluk paling sempurna. Namun untuk kesempurnaan, diperlukan proses, dan
proses itu disebut pendidikan. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan
manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan
manusia (Umam, 2015). Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka
diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban. Masukan dalam proses
pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya (Hendrizal,
2011a). Untuk memastikan karakteris-tik dan keunikan siswa yang akan masuk
dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Tranformasi dalam
proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa
(Rahmaseptiana, 2014). Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran
seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya
komponen/unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi
dalam proses pendidikan meliputi:
Untuk mengetahui efesiensi dan efektivitas
transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap
bekerjanya unsur-unsur transformasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah
siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil
diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai badan pertimbangan
untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Adanya umpan
balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan
kegiatan perbaikan proses pendidikan (Umam, 2015).
Apabila
diperhatikan uraian sebelumnya, dapat terlihat bahwa setiap unsur yang ada pada
proses transformasi pendidikan membutuhkan kegiatan evaluasi. Dengan demikian
jelaslah bahwa kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif.
Artinya, setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi mulai sejak siswa akan
memasuki proses pendidikan, selama proses pendidikan, dan berpikir pada satu tahap
proses pendidikan. Untuk mengetahui dan menetapkan siswa apakah sudah sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan
juga kegiatan evaluasi. Sehingga dengan adanya evaluasi tersebut juga akan
dihasilkan umpan balik, yang mana maksud dari umpan balik ini adalah segala
informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada
dalam proses. Dimana umpan balik ini berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk
perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses (Rahmaseptiana, 2014).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan evaluasi dalam
pendidikan sangatlah penting, karena dalam setiap proses pendidikan memerlukan
kegiatan evaluasi untuk tujuannya masing-masing.
Secara
filosofis, evaluasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan penilaian terhadap
sebuah proses yang telah dilalui guna untuk mengukur sejauhmana proses telah
berjalan menuju capaian-capaian yang diharapkan sekaligus mendapatkan gambaran
indikator yang mendukung serta menghambat capaian tersebut. Dari hal itu
diharapkan kita mampu memunculkan format dan strategi yang untuk mengatasi
problem atau lebih meningkatkan capaian untuk menjadi lebih baik (Azdi, 2011).
Maka yang diperlukan di sini adalah proses evaluasi harus berjalan normal
dengan alur yang benar tanpa intervensi untuk tujuan-tujuan sesaat yang
bersifat akan mengaburkan proses hasil evaluasi tersebut serta harus
dilaksanakan dengan penuh kejujuran tanpa perekayasaan.
Jika proses
evaluasi itu mampu menjiwai dasar filosofis tersebut maka grafiknya akan
mempunyai kecenderungan menuju perbaikan, karena ada penyadaran atas kegagalan
pencapaian dari penerapan aspek pelaksanaan. Dengan sadar diketahui pula
penyebabnya dan diantisipasi dengan kerja-kerja perbaikan dengan usaha yang
lebih giat dan tepat melalui penerapan konsep terhadap aplikasi sistem yang
terukur.
Seringkali orang
atau institusi atau lembaga sangat ketakutan ketika menghadapi evaluasi. Ini
menggambarkan ketidaksiapan atas usaha dari proses yang dilalui tidak dengan
sungguh-sungguh dan pemahaman yang keliru tentang evaluasi. Tolok ukur evaluasi
sering dijadikan nilai referensi untuk menggambarkan hasil terhadap persepsi
dari luar, bukan dikembalikan kepada kepentingan evaluasi itu sendiri yaitu
objek yang dievaluasi, sehingga yang terjadi salah dalam memberi apresiasi
terhadap keberhasilan yang cenderung tidak mendidik dan bersifat sementara.
Evaluasi tidak
dimaknai sebagai pembentukan karakter dasar yang harus tumbuh dengan normal
tanpa bias kepentingan dan rekayasa berupa dokumen-dokumen penilaian yang
seringkali menjadi acuan pihak luar, bukan kepada objek yang sesungguhnya.
Kita ambil
contoh di bidang pendidikan: evaluasi seringkali dimaknai untuk memberikan
gambaran real dan benar tentang keberhasilan sebuah institusi pendidikan dengan
seluruh komponen yang ada di dalamnya, contohnya:
Bagaimana
evaluasi menjadi gambaran real secara benar terhadap kemampuan guru dalam
menguasai metodologi pengajaran dan mentransformasikan penguasaan materi ajar
kepada peserta didik.
Evaluasi bagi
peserta didik untuk mengukur sejauhmana proses belajar mengajar mampu
memberikan aspek kognitif, afektif, psikomotor melalui transformasi
pengetahuan, nilai, budi pekerti dari pendidik.
Ketika evaluasi
yang terukur itu berjalan normal dan secara jujur melalui proses yang benar
tanpa bias kepentingan maka ada nilai yang terukur dari manifestasi kognitif,
afektif dan psikomotor yang seharusnya tidak harus dipaksakan untuk menjadi
baik dengan proses yang salah. Hal ini bisa menjadi baik capaiannya melalui
proses terus menerus melalui penyempurnaan-penyempurnaan dari semua aspek
pendidikan tersebut dengan komponen pendukungnya: institusi pendidikan, guru,
peserta didik, orangtua peserta didik, dan komite sekolah harus mengarahkan
persepsi dan pemahaman yang mengarah pada pencapaian yang sesungguhnya.
Jadi tidak yang
perlu dikhawatirkan, kalau memang saatnya sudah layak untuk diberi apresiasi
untuk dinyatakan lulus dengan proses capaian yang diharapkan. Maka boleh
dikatakan keberhasilan itu adalah sebuah keberhasilan yang kompleks (Azdi,
2011). Ketika belum saatnya untuk diapresiasi lulus dengan kelayakannya, maka
itu dimaknai sebuah penundaan keberhasilan institusi pendidikan untuk menuju
keberhasilan yang sesungguhnya, “tinggal masalah waktu,” maka lebih baik
menunda daripada mendapati kegagalan yang maha dahsyat ke depannya bagi
institusi itu sendiri, orangtua dan peserta didik.
Jadi pemaknaan
ini harus dipahami oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan dan orangtua
murid dengan kerjasama yang sinergis demi masa depan peserta didik dan masa
depan bangsa (Hendrizal, 2008). Pemerintah harus pula berupaya untuk
membebaskan biaya pendidikan agar proses itu tidak dimaknai membebani orangtua
peserta didik karena kegagalan dimaknai pemborosan dan pembebanan “biaya
tambahan bagi orangtua,” serta institusi tidak terbebani dengan target
pencitraan keberhasilan yang dipaksakan.
Demikian uraian
landasan filosofi dan fenomena evaluasi ini. Semoga kasus yang melanda dunia
pendidikan ketika menghadapi ujian nasional (UN), misalnya, tidak membunuh
nilai-nilai filosofis pendidikan bagi anak-anak kita.
BAB III
KESIMPULAN
Peran
filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui
hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya
dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi
guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya
kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan
tersebut. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat
keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu:
Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa
yang perlu diketahui.
butuh referensi judul
klik
.
.
.
http://andiwani.blogspot.co.id
atau
via wa,,, step by step penulisan tugas akhir
wa ; 0853 4108 1000
DAFTAR PUSTAKA
Alimudin.
2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen,
M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin,
Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto,
Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis
bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto,
Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Asifuddin,
A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles,
C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement:
to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education,
Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi,
Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber:
http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar,
Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Az-Zahiri,
Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Pendidikan Indonesia”. Sumber:
http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto.
1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di
Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Djuwita,
Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan,
W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in
Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3,
Issue 3.
Hasan,
Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal.
2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011,
artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal.
2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal
JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen,
M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report,
Harcourt Assessment.
Peraturan
Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti,
Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
ran
Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti,
Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Alimudin.
2008. Sistem Penilaian Hasil Belajar. Garut: Garut Press.
Allen,
M.J. and W.M. Yen. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Arifin,
Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto,
Suharsimi, dkk. 2008. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis
bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto,
Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Asifuddin,
A. Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan: Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: UIN Suka Press.
Aviles,
C.B. 2001. “Grading with Norm-Referenced or Criterion-Referenced Measurement:
to Curve or Not Curve, That is the Question.” Jurnal Social work education,
Vol. 20, No.5. pg. 603-608.
Azdi,
Yulzami. 2011. “Dasar Filosofis Evaluasi”. Sumber:
http://www.kompa-siana.com/yulzami.azdi/dasar-filosofis-evaluasi_5500df5aa333119f6f512-6f4.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Azwar,
Saefuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Cetatakan IV. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Az-Zahiri,
Izham. 2012. “Landasan Filosif Pendidikan Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Pendidikan Indonesia”. Sumber:
http://abdulzahir86.-blogspot.com/2012/01/landasan-filosif-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 17.31.
Daryanto.
1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Implementasi Standar Penilaian pada KTSP di
Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Djuwita,
Warni. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Lombok Barat: Elhikam Press Lombok.
Dylan,
W. 1996. “Meanings and Consequences in Standard Setting, Assessment in
Education.” Jurnal Principles, Policy & Practice, 0969594X, Nov, Vol. 3,
Issue 3.
Hasan,
Rahmat. 2014. “Alasan Dasar Evaluasi”. Sumber: http://berbagi-media-pengetahuan.blogspot.com/2014/05/artikel-evaluasi-pendidikan.html.
Date: 07-09-2015/ Time: 16.31.
Hendrizal.
2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011,
artikel rubrik Opini, halaman A-9.
Hendrizal.
2014. “Menggagas Sekolah Ideal Menurut Perspektif Sistem”. Artikel di Jurnal
JIT (Jurnal Ipteks Terapan), Volume 8, Nomor 2, Juni 2014, halaman 118-134.
Jorgensen,
M.A. and M. McBee. 2003. “The New NRT Model.” Jurnal Assessment Report,
Harcourt Assessment.
Peraturan
Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poerwanti,
Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
0 Komentar untuk "MAKALAH FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN"