berbagi referensi skripsi

(Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Bima, dan Flores)

M A K A S S A R
A.   Pengertian suku makassar
Terbuka." Makassar dalambahasa orang setempat disebut dengan “Mangkasara” yang berarti "Mereka yang Bersifat Terbuka." Dan etnis ini tersebar mulai dari kota Makassar, kabupatenGowa, Takalar, Je'neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, Pangkep serta keluar wilayah Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Selainitupenyebaran orang Makassar juga banyak ditemukan di Kalimantan Timur.  Suku makassar     adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkasara' berarti "Mereka yang Bersifat
Bahasa Makasar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia.


Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.
Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah,
Di daerah Sulawesi Selatan sangat menonjol perasaan kekeluargaan. Hal ini mungkin didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun. Raja-raja di Sulawesi Selatan telah saling terikat dalam perkawinan, sehingga ikatan hubungan kekeluargaan semakin erat. Menurut Sure’ Lagaligo(catatan surat Lagaligo dari Luwu) bahwa keturunan raja berasal dari Batara Guru yang kemudian beranak cucu. Keturunan Barata Guru kemudian tersebarke daerah lain. Oleh karena itu perasaan kekeluargaan tumbuh dan mengakar di kalangan raja di Sulawesi Selatan.
B. Kebudayaan suku makassar
Tak jauh berbeda dengan suku bugis, Suku Makassar atau Orang Mangasara sebagian besar menetap di daerah Sulawesi Selatan. Selain berprofesi sebagai pedagang, orang Makassar juga jago berlayar (senang merantau) dan itulah sebabnya jika suku bangsa ini terdapat juga di luar Indonesia, misalnya di Singapura dan Malaysia. Suku Makassar ini diakui akan kebudayaannya, dimana kebudayaan mereka tetap dilestarikan  sekarang dan tidak tergerus oleh modernisasi. 
                          1. Sistem sosial dan kebudayaan suku makassar
Sistem sosial dalam masyarakat etnis Makassar adalah dikenal adanya penggolongan/strata sosial yang menggolongkan masyarakat kedalam 3 golongan utama yang masing-masing di dalamnya terbagi lagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan tersebut yaitu: Golongan Karaeng, To Maradeka, dan Ata/Budak/HambaSahaya. Selainitu, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat seperti: Sipa’anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, sertaSambori. 
2. Rumah adat suku makassar
Rumah adat Makassar memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan  panggung dari sukulain di Indonesia. Bentuknya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan (Paladang).
Inilah bagian-bagian dari Rumah adat Makassar itu:
1.Tiang utama ( benteng ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap          barisnya.jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya,terdiri dari 3 / 4 baris benteng. Jadi totalnya ada 12    batang benteng
2. Pallangga yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung
dari benteng disetiap barisnya.
3. Panjakkala, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari Benteng paling tengah tiap barisnya.
4. Pamakkang , adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu
 biasanyadigunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
5. Kale Balla, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada kaleballa ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( pocci balla ).
6. Passiringang, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah
 dengantanah. 
3. Tarian suku makassar
Sejumlah wanita memainkan gerakan lembut dan gemulai. Kadang bergerak naik turun, kadang meliuk dengan anggun. Itulah tari pakarena, sebuah tarian klasik Makassar yang mencerminkan sikap teduh, hening, dan ko mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan dan bercerita tentang ritme kehidupan. Salah ntemplatif.
Pakarena adalah sebuah tarian ritus yang satu kesenian suku Makassar ini kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu atau upacara tradisional.Ada beberapa jenis tari pakarena, antara lain royong dan bone balla. Pakarena jenis royong hanya ditampilkan saat upacara adat yang berdimensi ritual. Sedangkan pakarena jenis bone balla bisa ditampilkan kapan saja. Termasuk untuk menyambut tamu.
Penari pakarena terdiri dari tujuh wanita yang berpakaian adat. Dalam pakarena royong, setiap penari harus memanjatkan doa sebelum menari. Dalam doa itu mereka menyediakan sesajian berupa beras, kemeyan, dan lilin. Pada pakarena bone balla, aturan tidak terlalu ketat. Gerakan lembut penari terbagi dalam 12 bagian. Setiap bagian memiliki makna. Gerakan pada posisi duduk menjadi penanda awal dan akhir tarian, gerakan berputar mengekspresikan siklus kehidupan manusia, dan gerakan naik turun adalah cermin irama hidup.
Pakarena juga merupakan cermin kelembutan, sikap sopan, dan kesetiaan wanita Makassar. Karena itu, seorang penari pakarena tidak boleh membuka mata terlalu lebar. Kaki dan tangan juga tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Gerakan pakarena adalah gerakan konstan.
Sementara iringan musik disebut gandrang pakarena. Kendati pakarena adalah gerakan gemulai, iringan musiknya mengentak dan bergemuruh. Jika pakarena mencerminkan kelembutan, gandrang pakarena menggambarkan keperkasaan pria Makassar.
      Alat musik terdiri dari gendang yang ditabuh bertalu-talu, ditingkahi suara seruling, para pasrak atau bambu belah, dan gong. Komposisi musik ini disebut gondrong rinci yang dimainkan oleh tujuh pria yang mengenakan pakaian adat.
Tidak ada catatan resmi kapan tari pakarena muncul. Yang pasti, tarian ini sempat menjadi kesenian resmi istana pada masa Sultan Hasanuddin, raja Gowa ke-16. Tarian ini mendapat sentuhan seni dari ibunda sang sultan, I Li'motakontu.
Sebagian masyarakat tradisional suku Makassar percaya, tari pakarena berawal dari kisah perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Saat perpisahan, penghuni boting langi mengajarkan penghuni lino tata cara hidup. Tata cara itu meliputi cara bercocok tanam, beternak, hingga berburu. Ajaran itu lalu diekspresikan lewat gerakan-gerakan tangan, badan, dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual Pakarena saat penduduk lino memanjatkan syukur.
Selain itu juga ada tari: Tari Bosarak melukiskan tata cara tradisional dalam menyambut tamu agung pada pesta perkawinan serta peristiwa penting lainnya. Dengan penuh ramah-tamah, gadis-gadis menyuguhkan kue-kue adat dalam tempat yang bernama bosarak.
      Tari Anging Mammirik. Lamunan seorang gadis yang ditinggalkan kekasihnya dan kemudian ia berlibur oleh kedua teman karibnya. Pesan-pesan indah karena kekasih yang jauh, disampaikan lewat anging yang meniup, menyejuk hati nan pilu.
Tari Kipas. Kipas dan gadis tidak dapat dipisahkan. Permainan kipas dengan lincah oleh gadis merupakan pula suatu kegemaran, melambangkan keluhuran budi pekerti gadis-gadis Makassar.
Tari Pakurruk Sumangak menggambarkan salam sejahtera bagi mereka yang datang dan dikunjungi serta mohon doa restu, lambang persahabatan dan keakraban.
C. Mata PencaharianSukuMakassar
Pada dasarnya mata pencaharian orang Makassar adalah menanam padi di sawah yang telah mengembangkan sistem irigasi tradisional. Selain itu, pertanian sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman keras juga cukup berkembang. Akan tetapi di mata masyarakat lain orang Makassar lebih terkenal sebagai nelayan penangkap ikan, pedagang dan pelaut yang gigih. Mereka telah mengembangkan tradisi dan pengetahuan kelautan yang mengagumkan. Jenis perahu Makassar yang disebut pinisi terkenal sebagai perahu yang kuat dan ramping serta mampu mengarungi lautan luas selama berbulan-bulan. Karena cirikebudayaan seperti itu, maka orang Makassar sering diidentikkan dengan orang Bugis, tidak heran kalau kedua nama itu sering ditulis oleh penulis lama dalam kata majemuk Bugis-Makassar
D. Adat Istiadat Suku Makassar
Adapun adat istiadat Masyarakat suku Makassar adalah dapat dilihat dari prosesi adat pernikahannya yang memiliki keunikan antara lain dikenal adanya beberapa proses atau tahapan upacara adat, seperti :

1.    Appassili bunting (Cemme mappepaccing) dan A’bubbu’.
2. A’korontigi (Mappacci).
3.   Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad Nikah)
Selain itu, Masyarakat suku bugis memiliki ciri khas bentuk rumah yang dalam bahasa makassar dikatakan “BALLA” adalah rumah panggung yang berbentuk segi empat, tiang berjejer lima ke samping dan ke belakang. adapun rumah bangsawan, tiangnya berjejer lima ke samping dan enam atau lebih ke belakang. Puncaknya berbentuk pelana, bersudut lancip, menghadap ke bawah, atapnya terdiri atas bahan; nipa, rumbia, bambu, alang-alang, ijuk, dan sirap seperti atap Balla Lompoa di Gowa yang masih ada dewasa ini. Di bagian depan dan belakang puncak rumah ada Timbaksela atau timpalaja.
Sementara, sistem sosial dalam masyarakat etnis Makassar adalah dikenal adanya penggolongan / strata sosial yang menggolongkan masyarakat ke dalam 3 golongan utama yang masing-masing di dalamnya terbagi lagi menjadi beberapa jenis. Penggolongan tersebut yaitu : Golongan Karaeng, To Maradeka, dan Ata/Budak/Hamba Sahaya.
Selain itu, Masyarakat etnis Makassar juga sejak dahulu mengenal adanya Aturan tata hidup yang berkenaan dengan, sistem pemerintahan,sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan, yang mereka sebut sebagai pangadakang. Dalam hal kepercayaan masyarakat etnis Makassar telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah TureiA’rana (kehendak yang tinggi).
Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat seperti : Sipa’anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta Sambori.
Kesemuakekerabatan yang disebut di atasterjalineratantarsatudengan yang lain. Merekamerasasenasibdansepenanggungan. Olehkarenajikaseorangmembutuhkan yang lain, bantuandanharapannyaakanterpenuhi, bahkanmerekabersediauntuksegalanya.
Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri

B U G I S
A.    Pengertian Bugis
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Di samping suku asli, orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau dari Sumatera ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam. 
B.     Perkembangan dan Sejarah Berdirinya Suku Bugis di Indonesia
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
C.    Mata Pencaharian Suku Bugis
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
1.      Perompak
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur. Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
2.      Serdadu bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
3.      Bugis perantauan
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskardan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
·         Penyebab merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan.

D.    Adat Istiadat Suku Bugis
1.      Kesenian Suku Bugis
a. Alat musik:
1).      Kacapi (kecapi)
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
2).      Sinrili
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan  membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain  duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
3).      Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
4).      Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
   Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
   Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
   Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
b.      Seni Tari
1. Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
2. Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika  kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
3. Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang  sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan  perempuan-perempuan Bugis.
4. Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria),  namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
5. Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).
2.           Sistem Kepercayaan Kebudayaan Suku Bugis
Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agama Islamyang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke-17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1.      Patoto-e, yaitu Dia yang menentukan nasib.
2.      Dewata Seuwa-e, yaitu Dewa yang tunggal.
3.      Turie a’rana, yaitu Kehendak yang tertinggi.
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut:
1.      Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas:
a.Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antar kaum kerabat.
b. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
2.      Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
3.      Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan.
4.     Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
5.     Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.
3.         Sistem KekerabatanKebudayaan Suku Bugis
Perkawinan ideal menurut adat Bugis adalah:
1.      Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2.      Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
3.      Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1.      Anak dengan ibu atau ayah.
2.      Saudara sekandung.
3.      Menantu dan mertua.
4.     Paman atau bibi dengan kemenakannya.
5.      Kakek atau nenek dengan cucu.
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
                    Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk  menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
    Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya
3. Madduppa (Mengundang)
                    Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.
4. Mappaccing (Pembersihan)
           Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati  untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.

                                             https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLTQRRFUhzr7C_UgloA_OktF32rkTFJdRgIcrlf5v_QohfRUaF1vESPkOVbOVyB4SjhRJ95w3klj_csydar5jXlh0_Yf-5EbEkTvj0sQUJaqnz-aLMIUaXK9PfSb1rxvqXncGpUybWEXW7/s320/mappaenre-balanca.jpg
 Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan, dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki. mappaenre botting adalah beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.

4.        Rumah Adat Bugis
Setiap budaya memiliki Ciri Khas Rumah Adatnya Masing-masing. Begitu Pula Dengan Bugis, rumah adat bugis itu terdiri dari tiga Bagian. Yang Dimana Kepercayaan Tersebut terdiri atas :
1.      Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang  Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2.      Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3.      Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) yang masih mempercayai bahwa bagian-bagian dari rumah Adat Bugis :
1.      Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2.      Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah
3.      Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Rumah ini bisa berdiri tanpa mengunakan satu paku pun orang daluhu kala menggantikan Fungsi Paku Besi menjadi Paku Kayu.
Rumah adat suku Bugis Makassar dapat di bedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya, Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang di tempati oleh rakyat biasa.
Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa di sebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan penghuninya. Rumah adat suku bugis baik saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian : Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian. Alle bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya. Badan rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti: · lotang risaliweng, Pada bagian depan badan rumah di sebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke pemakaman. Lotang ritenggah atau Ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan social antara sesame anggota keluarga lebih banyak berlangsung disini. · Lontang rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan dapureng atau jonghe. · Rakkeang ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil perkebunan lainnya. Sebagaimana halnya unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisionalpun senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa bugis antara lain bola ugi yang dulunya berbentuk rumah panggung sekarang banyak yang di ubah menjadi rumah yang berlantai batu. Agama Islam juga memberi pengaruh kepada letak dari bagian rumah sekarang yang lebih banyak berorientasi ke Kabah yang merupakan qiblat umat Isalam di seluruh dunia. Hal tersebut di karenakan budaya Islam telah membudaya di kalangan masyarakat bugis makassar, symbol-simbol yang dulunya di pakai sebagai pengusir mahluk halus yang biasanya diambil dari dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang tertentu dig anti dengan tulisan dari ayat-ayat suci Al-Qur’an

5.      Pakaian adat Suku Bugis
Pakaian adat khas wanita Bugis Makassar adalah baju bodo. Baju bodo berupa kain sarung yang berwarna merah hati, biru, dan hijau.


E.     Bahasa Suku Bugis
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlhAXBVyi_szY2fQY4J0pObNewx29GhrxQDRgNPDeuDyhoBdIiIHn7LyHuQesg2-vn9H7shkXAFKaJDPmVT_kenRiTp66OgE8eDuv0IjzUsdwhPW2zytdw_fNc9Rzx0x-IDuvMsTyUN6Fu/s320/aksara-bugis.jpg
Lontara Bugis merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo di tulis menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar dan masyarakat luwu. Yah dahulu kala para penyair-penyair bugis menuangkan fikiran dan hatinya di atas daun lontara dan dihiasi dengan huruf-huruf yang begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik diatas daun lontara dan karya-karya itu bernama I La Galigo. Bahasa Bugis merupakan bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
F.     Falsafah Bugis
1.      Sipakatau
Sipakatau adalah sifat yang tidak saling membeda-bedakan. Makseudnya, semua orang sama. Tidak ada perbedaan derajat, kekayaan, kecantikan, dsb. Dalam kehidupan, kita tidak selayaknya membedakan orang-orang. Kita harus saling menghargai dan menghormati sesama.
Contohnya : Misal si A adalah pejabat tinggi, lalu dia berbicara pada seorang tukang sapu jalan. Maka si A yang memiliki kedudukan tinggi selayaknya bersikap santun kepada tukang sapu. Jangan mengganggap enteng orang lain. Tetap harmati orang lain.
2.      Sipakainge
.           Sipakinge adalah sifat dimana kita saling mengingatkan. Apabila ada diantara kita yang melakukan kesalahan apa salahnya kita saling mengingatkan. Dimana dengan tujuan dengan saling mengingatkan kita dapat merubah dan menghindari sifat-sifat tercela yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Contohnya : Ada teman yang sering berbicara kotor. kita ingatkan untuk
 tidak mengeluarkan kata-kata itu lagi. Ada dua orang teman yang sedang ingin berkelahi. Kita ingatkan jangan saling pukul karena itu bisa bikin malu dilihat orang dan sama-sama rugi.
3.       Sipakalebbi
Sipakalebbi adalah sifat saling menghargai sesama manusia. Kita sesama manusia, harus saling menghargai. Semua manusia ingin diperlakukan dengan baik.Saling menghargai di Saling menghargai inilah yang diharapkan akan membawa manusia ke jalan yang benar. Jadi intinya adalah, apabila kita ingin diperlakukan dengan baik maka perlakukan pula orang lain dengan baik.
            Contohnya : Ketika kita memperkenalkan teman kita kepada orang lain di
saat itulah kita sipakalebbi. Kita perkenalkan bahwa teman kita ini jago di bidang yang dia tekuni, pernah mendapatkan juara Olimipade misalnya. Sehingga orang yang diperkenalkan tadi dihormati oleh teman barunya. Saat kita berbicara pada yang lebih tua. Tutur kata kita sebaiknya sopan dan santun.


T O R A J A
A.    Asal Usul Tana Toraja
Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan Sulawesi Utara, Indonesia. Populasinya diperkirakan 1juta jiwa, dengan 500,000 diantaranya masih tinggal dikabupaten Tana Toraja, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Tana Toraja memeluk agama Kristen sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan Animisme yang dikenal sebagai Aluk Todolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To ri’aja, yang berarti “orang yang berdiam dinegeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat Tongkonan, dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupkan peristiwa penting, biasanya dihadari oleh ratusan dan berlangsung beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh dunia luar. Pada awal tahuan 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah terbuka kepad dunua luar tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambing pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya masyarakat kepercayaan tradisional dan agraris menjadi masyarakat mayoritas agama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang meningkat.
Suku toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad 20. Sebelum penjajah Belanda dan masalah pengkristenan, suku Tana Toraja, yang tinggal didaerah daratan tinggi dikenali berdasarkan desa meraka dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan diantara desa-desa ada banyak keragaman dalam dialek, hirearki sosial, dan berbagai praktik ritual dikawasan dataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir, yang bebrarti orang, dan Riaja, daratan tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk daratan rendah untuk penduduk daratan tinggi. Akibatnya, pada awal “Toraja” lebih banyak memilik hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar yang menghuni sebagian besar daratan rendah di Sulawesi daripada dengan sesama di daratan tinggi. Kehadiran misionaris Belanda didaratan Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja diwilayah Sa’dan Toraja dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama, yaitu suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), suku Toraja (petani di daratan tinggi).
B.     Kebudayaan Tana Toraja
1.      Kebudayaan Tongkonan
Rumah adat Toraja disebut Tongkonan. Tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk, tempat “an” bias dikatakan tempat duduk tetapi buka tempat duduk yang sebenarnya melainkan tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Hampir semua rumah Toraja menghadap ke arah utara, menghadap kearah Puang Matua sebutan orang Toraja bagi Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka dan dipercayaakan mendapatkan keberkahan didunia ini. Daerah Tana toraja pada umunya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya tedapat hamparan persawahan. Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Mataerial kayu dari kayu uru, sejenis kayu local yang berasal dari Sulawesi. Kualitas kayunya cukup baik dan banyak ditemui dihutan-hutan daerah Toraja. Kayu dibiarkan asli tanpa dipelitur atau pernis.
Rumah Toraja/Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian yang pertama kolong (sullung banua), kedua rumah (Kale Banua) dan tiga atap (Ratian Banua). Pada bagian atap bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Disisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya matahari dan aliran angin. Memiliki latar belakang arsitektur rumah tradisonal Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri.
Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang diharuskan dan tidak boleh dilanggar, yaitu Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu dibagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu :
1.      Utara disebut Ulluna langi, yang paling mulia dimana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
2.      Timur disebut Matallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
3.      Barat disebut Mattampu, tempat matahari terbenam lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
4.      Selatan disebut Pollo’na Langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik/angkara murka.
Pembangunan rumah tradisional Toraja biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah adat Toraja dibedakan menjadi 4 macam :
1.      Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
2.      Tongkonan Pankaberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapa beberapa Tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
3.      Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagia tempat pusat pertalian keluarga.
4.      Barang-burung, merupakan rumah adat pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan) kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.
Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjualan ke atas, semakin tinggi atau banyak susuan tanduk kerbau tersebut semakin menunjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.
        Kenapa harus tanduk kerbau? Bagi orang Toraja, kerbau sebagai hewan ternak mereka juga menjadi lambing kemakmuran dan status. Oleh sebab itu tanduk atau tengkorak kepala kerbau dipajang dan disimpan dibagian rumah karena sebagai tanda bahwasanya keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara/pesta.

2.      Ukiran Kayu
Melihat rumah adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik adalah variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya. Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Pa’ssura (penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Pola yang terukir memiliki makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik atau rumpun keluarga yang punya nilai magis. Ukiran-ukuran Toraja itu diyakini memiliki kekuatan alam atau supranatural tertentu.
        Diperkiran, tidak kurang dari jenis 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan makna. Warna-warna yang mendominan adalah merah, kuning, putih dan hitam. Semua sumber warna berasal dari tanah liat yang disebut Litak kecuali warna hitam yang berasal dari jelaga atau bagian dalam pisang muda. Pencipta awal mula ukiran-ukiran magis ini diyakini dari Ne’ Limbongan yang mana simbolnya adalah berupa lingkaran berbatas bujur sangkar bermakna mata angin.
        Setiap pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain notif  “empat lingkaran yang ada dalam bujur sangkar” biasanya ada dipucuk rumah yang melambangkan kesabaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu antara lain simbol kebesaran bangsawan (motif paku), simbol persatuan (motif lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta (motif empat lingkaran berpotongan dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu, beragam pula pola-pola yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain burung bangau (motif Korong), bebek (motif Kotte), anjing (motif Asu), kerbau (motif Tedong), babi (motif Bai) dan ayam (motif Pa’manuk Londong).
        Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motif  biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan lambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah menggambarkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturuna keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak dipermukaan air. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu unuk menghasilkan hasil yang baik.
        Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar ukiran dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengah abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya, meskipun suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat jelas ornamen geometris tersebut.
3.      Upacara Pemakamanp
        Di Tana Toraja tradisi menghormati kematian dikenal dengan upacara Rambu Solo’. Persamaan dari ketiganya,; ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo’ dan Rumbu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai di renovasi.
        Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condongke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat dibagian atas tebing diketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk Todolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) dikalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
        Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang buka bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembeli 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.
Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi jenazah tidak boleh dikuburkan ditebing atau ditempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasranidan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak untuk melaksanakan upacara ini.
        Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu sebagai orang sakit karena statusnya masih ‘sakit’ maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
        Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju Tongkonan pertama (Tongkonan Tammoun), yaitu Tongkonan dimana ia berasal. Disana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Mattingoro’ Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditembatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi diptong-potong dan danginnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
        Jenazah berada di Tongkonan pertama (Tongkonan Tammoun) hanya sehari, lalu keesokkan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke Tongkonan yang berada agak keatas lagi, yaitu Tongkonan Berebatu, dan disin pun prosesinya sama dengan di Tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada disekitar Tongkonan tersebut.
        Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Didepan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya didepan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluaraga itu).
Prosesi pengarakan jenezah dari Tongkonan berebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
        Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksankan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membaya gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan Tompi Saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat dibelakang Tompi Saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
        Jenazah tersebut akan disembayangkan dirante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang dibuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di Lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
        Iring-iringan jenazah akhirnya sampai dirante yang nantinya akan diletakkan di Lakkien (menara tempat yang disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah di baringkan di atas Lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburang bagi para para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama acara upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamak biak ini merupakan acara yang di tunggu-tunggu.
        Selama beberapa hari kedepan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai tamu-tamunya berada derada ditempat yang telah disediakan yanitu lantang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan ditebing
maupun di patene’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
C.       Musik dan Tarian
        Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual tersebut disebut Ma’badong). Ritual tersbut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornament lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upcara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil bernyanyi mengenakan kostum berbulu. Taria Ma’katia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan baibi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepik tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.
              Seperti masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tatian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, seperti tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria lalu diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara Toraja yang paling penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari disekeliling pohon suci.
              Alat musik tradisional Toraja adalah suling bamboo yang disebut Pa’suling. Suling berlubang ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari deb\ngan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mepunyai alat musik lainnya, misalnya Pa’pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan dalam waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
D.    Bahasa
              Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja dengan Sa’dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi masyarakat Toraja pun diajarkan disemua sekolah dasar di Tana Toraja.
              Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae, Tandolo’, Toala dan Toraja Sa’dan dan termasuk dalam rumpun bahasa melayu-polenesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lainnya melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak zaman penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
E.     Ekonomi
              Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantug pertanian dengan adanya teraserimg dilereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong  dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
              Dengan dimulainya masa Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dank e kota-kota Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi smpai tahun 1985.
              Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal dari tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja dihotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) terlah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

M A N D A R
1.Unsur Budaya Suku Mandar
A.Perkembangan Bahasa
Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indonesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indonesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, bahwa mandfarschedialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang memilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat ditemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring.
B.Perkembangan Religi (agama)
Pada umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda keramat dan sesaji.
Didaerah pedalaman seperti di pegunungan PituUlunna Salu sebelum Islam masuk, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali AppaRandanna.
Sedangkan untuk wilayah persekutuan PituBa’banaBinanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada peningglaanya yang berupa ritual dan upacara-upacara adapt yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesjai untuk menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa symbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
C. Upacara keagamaan dan Adat
a. Akikah
Bagi keluarga yang mampu, akikah sebaiknya dilakukan sedini mungkin misalnya hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu : pemotongan hewan dan pembacaan barzanji. Kemudian beberapa cara yang sering dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan yang diperlukan pada upacara ini antara lain kue, songkol, pisang berbagai jenis. Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh dilubangi, patties atau lilin , dan dupa.
1. Pemotongan Hewan
Bagi anak laki-laki dianjurkan dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat, sedangakan anak wanita dianjurkan seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara tradisional pemotongan ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak bala dari gangguan roh-roh jahat.
2. Pembacaan Barzanji.
Pada saat dupa dan lilin dibakar, barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah ditimbang oleh dukun beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca barzanji. Saat bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU ALAINA”, pembaca barzanji, ibu yang memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah diundang untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk melakukan pengguntingan rambut yaitu secara “aturan adat” dan secara “biasa” atau “umum” atau “bebas”.
Secara aturan adat dilakukan pengguntingan rambut menurut Anggota Hadat. Untuk Kerajaan Pamboang urutannya sebagai berikut :
KadhiPamboang
Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
Pabicara Bonde
PabicaraAdolang
PabicaraLalampanua
Suro Puang di Tawaro
Suro Puang di Polo (ng).
Secara umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang berilmu pengetahuan
e. Orang kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka masyarakat yang dukun.
Setelah rambut bayi tergunting, guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah dilubangi, langsung oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda pada acara ini, dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan serangan penyakit.
Jika kita perhatikan acara pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud tertentu dan rahasia dari orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut ini diharapkan si bayi kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada acara ini.
Sementara pengguntingan rambut pembacaan barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan pembaca barzanji duduk bersama seluruh hadirin.
Sesudah pembacaan barzani konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang berbagai macam dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus untuk pembagian Kadhi, Raja dan anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya.
Kemudian pada acara istirahat kambing sembelihan untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah upacara akikah dan seluruh rangkaiannya.
b. Niuri
Niuri dalam masyarakat Mandar adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan) diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
1.         Wanita yang akan niuri dpuduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2.         Sesudah makan bersama, istilah Mandarnya “nipandemangidang” orang yang akan niuri dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan beras di bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai habis.
3.         Masih dalam posisi berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi, kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3 atau 5 atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri di bangunkan.
4.         Selesai tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah dicampur dengan burewetadu, bagottuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah. Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali saja.
Sementara seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah Bugis-Makasarnya, alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat doa yang contohnya sebagai berikut :
“   Alai sipa’uwaimmu
Pideisipa’ apimmu
Tallammo’oliwang
Muammung pura beremu”
Artinya :
“   Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu”.
“    Uwai penjarianmu
Uwaipessungammu
Uwaipellosormu
Uwaipellene’mu
Uwaipeoromu
Uwaipellambamu
Uwaiatuo-tuoammu”.
Artinya :
“   Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah rezekimu an dingin seperti air”
Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara niuri ini yaitu :
1.         Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa, memiliki wajah seperti bulan purnama
2.         Bangottuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup. Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3.         Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang kaya.
4.         Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap terhindar dari penyakit.
c.   Pappatadayang
Pappatadayang artinya pelantikan yang akan dibahas pada makalah  ini adalah pelantikan seorang Raja yang mengambil sempel di Kerajaan Pamboang, yang pasti caranya sama dengan seluruh kerajaan di Pitu “Ba’baBinanga Mandar.
Pada upacara seperti ini dikaitkan yaitu memanna atau mangaru dalam beberapa macam tingkatan. Sehubungan dengan pelantikan ini disiapkan Payung Kerjaan untuk tempat berpegang Raja bersama seorang anggota Hadat yang mewakili anggota Hadat lainnya untuk melakukan pelantikan, gendang an keke.
Untuk Kerajaan Pamboang tata-caranya sebagai berikut :
1.         Raja yang akan dilantik berpegang ke Payung Kerajaan yang telah disiapkn dipanggung kehormatan menyusul Pabicara Bonde selaku ketua Hadat dan juru bicara yang akan melakukan pelantikan.
2          . Sementara berpegang bersama di payung,dengandiahului pemukulan gendang, keke,aba-aba dari protocol, Pabicara Bonde mengucapkan naskah pelantikan sebagai berikut :
a. “Iyamimotu’udie Hada’ siolataumaranni”. Artinya : “Kami ini adalah Hadat bersama rakyat”.
b. “Lewu parri’dimang”. Artinya : “Kami telah sepakat secara aklamasi”.
c. “Maradiamotu’unamaasayangngi Banua siolaPa’banua”. Artinya : “ Rajalah yang akan menyayangi Negeri dan Rakyat”.
d. “Maradiatomo rapang ponnana ayu nanaengeimettullung.
D.Sistem Pernikahan
Untuk perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis besarnya melalui 14 fase seperti:
1) Massulajing
Massulajing  artinya mencalonkan dan mencocokkan antara dua orang yang akan di persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si lelaki berssama keluarga terdekat. Ini bermakna saling menghargai antara keluarga dan merupakan isyarat bahwa pengurusan dan seluruh tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab bersama.
2) Messisi’ atau Mammanu’manu
Messisi’ adalah langkah permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka pendekatan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan oleh satu atau dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat menengahi urusan ini. Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga ada hubungan kelurga dengan pihak pria.
Sifat kunjungan Messisi’ ini sangat rahasia. Sedapat mungkin pihal lain tidak mengetahuinya. Ada 2 hal yang ingin dicapai dalam kerahasian ini:
· Jika gagal pihak laki-laki tidak merasa malu.
· Untuk mencegah pihak lain yang ingin menghalangi hubungan ini.
Inti pembicaraan pada fase ini hanya menanyakan:
· Apakah si gadis……sudah ada yang meminang ?
· Apakah si………..anak dari si…….., dapat menerima jika datang melamar?


3) Mettumae atau Ma’duta
Mettumae atau ma’duta ialah mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan utuk lebih memastikan dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase mammanu’-manu. Duta artinya utusan tediri dari bebrapa pasangan suami istri yang biasanya dari keluarga dekat, pemuka adat dan penghulu agama dengan berbusana secara adat.
Pada fase ini biasanya berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan menyampaikan maksudnya secara simbolik melalui puisi atau ‘kalinda’da mandar’. Untuk fase ini contoh kalinda’danya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“ Poleang me’orocandring
Dilebaturunammu
Tandai mie’
Kalepu di batammu
Artinya :
“ Kami datang duduk menduta
Dikampung halamanmu
Suatu tanda
Cinta kami kepadamu”.
Jawaban pihak wanita :
“ Uromaipepolemu
Utayangpe’endemu
Maupabappa
Anna mala sambasse”
Artinya :
“ Kedatanganmu kami jemput
Kutunggu maksud hatimu
Semoga beruntung
Kehendak kita dapat bertemu”
Sampai pada kalimat terakhir yaitu
Pihak laki-laki :
“ Beru-beru dibanyammu
Pammasse’iappanna
Diang tumani
Taulaengmappuppi”.
Artinya :
“ Kembang melati dalam rumahmu
Kuat-kuat pagarnya
Jangan sampai ada
Orang lain yang memetiknya”
Jawaban dari pihak wanita :
“ Beru-beru di boya’i
Masse’ banggiappanna
Takkala  ula
I’onammabuai”
Artinya :
“ kembang melati dirumah kami
Pagarnya cukup kuat
Kami sepakat
Engkaulah yang membukanya”.
Menyimak jawaban terkhir dari pihak wanita menendakan bawa lamaran diterima. Dengan demikian fase berikutnya yaitu: “Mambottoi Sorong”. Ketentuan utama dari fase ma’duta adalah :
§ Pihak laki-laki harus membawa uang yang di sebut “pamuaingnga yaitu uamh pembuka mulut”
§ Segala bahan konsumsi ditanggung oleh pihak laki-laki, dan diantar ke pihak wanita bersamaan pemberitahuan hari mambotoi sorong.
4) Mambottoi Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang memiliki nilai moral dan material yang mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa adanya mas kawin, perkawianan dianggap tidak sah menurut aturan adat maupun menurut syariat Islam. Sedang menurut adapt istiadat suku Mandar, “sorong” adalah gambaran harga diri dan martabat wanita yang ditetapkan menurut aturan adat yang disahkan oleh  hadat yang tidak boleh diganggu gugat atau ditawar-tawar naik turunnya. Seorang ini adalah milik si wanita yang harus diangkat oleh si pria menurut strata si wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar dikenal lima tingkatan :
a. Sorong bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istialah “Tae” yang nilai realnya berfariasi :
· Satu taebalanipa nilainya  4 real
· Satu taesendana nilainya  3 real
· Satu taebanggae nilainya  2½ real
· Satu taepamboang nilainya 2½  real
· Satu taetappalang nilainya  2½  real
· Satu taemamuju nilainya  2½  real
· Satu taebinuang nilainya 2½  real
b. Sorong anak bangsawan 180 dan 300 real
c. Sorong Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real .  Jika sedang berkuasa menjadi anggota hadat bisa 200 real.
d. Sorong tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
e. Sorong tobatua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh tuannya.
Semenjak suku mandar, Bugis, Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah lahir dan berkembang pula  budaya  dan adat-istiadat yang mendasari dan mengatur kegiatanya masing-masing.
Bila kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama-sama berpegang pada budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu, masalnya perkawinan dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah tentang budaya dan aturan adat mana yang akan mendasari perkawianantesebut.
Jika kedua belah pihak bersikeras ingin menerapkan budayanya masing-masing, maka perkawinan yang seharusnya terlaksana dengan baik, bisa menjadi batal. Yang demikian ini banyak terjadi bagi yang belum mengetahui kesepakatan “aturan adat” di sulawesi selatan yang diletakkan oleh tiga bersaudara yaitu I-TabittoEngBalanipa (Mandar), La Palangki Aru Palakka (Bugis) dan I-Rerasi Gowa (Makassar) sekitar tahun tahun 1460 M yang isinya dalam bahasa Indonesia :
“Orang Mandar dan orang Gowa pergi ke Bona, maka Bonelah dia; orang Mandar dan orang Bone pergi ke Gowa maka Gowalah dia; jiak orang Gowa dan orang Bone pergi ke Manar, maka Mandarlah dia”
Ini mengandung pengertian bahwa orang Mandar dan orang Gowa (Makassar) yang berada di Bone (Bugis) harus menggunakan atau memakai adat-istiadat Bone (Bugis) dan sebaliknya seterusnya
Jika pria Gowa (Makassar) akan melamar wanita Mandar, menurut adat harus datang melamar di Bandar. Karean acara ini dilakukan di Mandar (dalam lingkungan pihak wanita) maka sesuai kesepakatan adat di Sulawesi Selatan yang harus mendasari   pelamaran, perkawinan dan seluruh rangkaiannya adalah budaya dan adat-istiadat Mandar, termasuk “sorong” atau “mas kawin” dan sebaliknya seterusnya.
Meskipun ada aturan-aturan adat yang disepakati seperti tersebut diatas, jika ada perselisihan tentang hal ini masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh aturan adat dan kaidah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sulawesi Selatan selama ini berbunyi :
“Matindoiada’mua’diangsasamaturuang”
Artinya :
“Aturan-aturan adat (bisa) tidak berlaku bagi pihak-pihak yang ingin berdamai atau  mencari kesepakatan lain yang baik”.
Mambottui sorong artinya memutuskan (menetapkan) mas kawin. Pada fase ini seluruh permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan mas kawin dan pelaksanaannya telah dibicarakan dan diputuskan, utamanya mengenai sorong itu sendiri, belanja, waktu pelaksanan akad nikah, paccandring dan lain-lain.
Pada acara ini biasa berjalan ramai dan seru karena “sipappasoro-sorong” artinnya saling desak-mendesak untuk mengabulkan usul masing-masing. Dikatakan ramai karena usul ini biasanya dapat disampaikan secara simbolik dengan kalinda’da Mandar yang contohnya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“ Poleang ma’lopisande
Lima ngurasobalna
Merandang jappo
Mewalangota’garang”
Artinya :
“ Kami datang berperahu sande
Lima urat kain layarnya
Bertali-jangkar lapuk
Jangkarnya juga sudah berkarat”
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penyampaikan lamaran kepada pihak wanita yaitu kalinda’da yang digunakan harus yang bersifat merendah hati, tidak boleh menyombongkan diri karena bangsawan, karena kaya, karena pintar, dan lain-lainnya.
Jika tahap pambottuiangan sorong ini mencapai kesepakatan maka tahap selanjutnya dapat dilakukan.
5) Membawa Paccanring
Membawa paccandring adalah pernyataan rasa gembira oleh pihak laki-laki atas tercapainya kesepakatan tentang sorong dan besar belanja. Yang dibawa dominan buah-buahan segala macam dan sebanyak mungkin. Menurut kebiasaan, paccanring ini dibagi-bagikan kepada segenap keluarga dan tetangga, dan pengantarnya harus dengana arak-arakan.
6) Ma’lolang
Adalah perkunjuangan laki-laki bersama sahabat-sahabatnya kerumah wanita. Ini merupakan pernyataan resminya pertunangan dan perkenalan pertama laki-laki yang akan dikawinkan kepada segenap keluarga pihak wanita. Yang dilakukanya antara lain mengadakan permainan musik Gambus, Kecapi dan lain-lain. Mengenai konsumsi dalam acara ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki.
7) MappadaiBalaja
Artinya pihak laki-laki mengantar uang belanjaan yang telah disepakati kepihak wanita dengan arak-arakan yang lebih ramai lagi. Ini dilakukan sebelum ‘mata gau’ dan diantar sesuai permintaan pihak wanita.
8) Mappasau
Dilakukan pada malam hari menjelang besoknya persandingan. Mappasau artinya mandi uap, dimaksudkan agar semua bau busuk yang yang mungkin ada pada mempelai wanita menjadi hilang.Bahannya terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang disebut “daun bunga” sejenis daun pandan dan beberapa campuran rempah-rempah lainnya. Cara melaksanankanpappasaungan ini ialah, bunga dan campurannya berupa dedaunan yang harum baunya direbus dengan air sampai mendidih. Mulut belanga diberi bungkus kain dan di lubangi. Pada lubang tersebut dipasangi saluran saluran bambu. Si gadis menyelimuti tubuhnya engan kain setebal mungkin. Setelah si gadis mengeluarkan keringat dan dianggap sudah memadai selimut dibuka. Setelah itu sigadis dimandikan untuk membersikan sisa-sisa uap yang melekat pada badan si gadis. Sesudah itu selesailah acara Pappasaungan.
9) Pallattigiang
Pallatiang dalam suku Mandar ada  3 yaitu pellattigiang secara adat, pelattigiang adat oleh raja-raja, anpelattigiang secara pauli atau obat.
Pelaksanaan pelattigiang waktunya ada 2 macam :
Bersamaan dengan hari akad nikah
Sehari sebelum akad nikah
Pelaksanaan pellattigiang secara adat harus berbusana lengkap dengan keris di pinggang, khusus pellattiangpauli (obat), busana dan kelengkapan lainnya bebas.
10) MambawaPappadupa
Adalah perkunjungan utusan pihak wanita ke rumah pihak laki-laki membawa “lomomasarri atau manyak wangi” dan busana yang akan dipakai pada saat akad nikah. Maksud utama dari padduppa ini adalah pernyataan kesiapan dan kesedian calon mempelai wanita untuk dikawinkan. Ini dilakukan pada malam hari, menuju esonya akan dinikahkan.
11) Matanna Gau
Merupakan puncak dari  segenap acara yang ada dalam upacara perkawinan. Pada bagian ini dilakukan arak-arakan yang lebih ramai sehari sebelumnya untuk mengantar calon mempelai pria kerumah calon mempelai wanita.
Ada dua hal pokok yang diantar, yaitu calon mempelai laki-laki dan mas kawin. Mas kawin dipantangkan bepisah dari calon mempelai laki-laki sebelum di serahkan pada wali mempelai wanita. Untuk meramaikan iring-iringan turut diantar barang-barang yang diatur sebagi berikut :
Lomo atau minyak dimaksudkan agar acar berjalan dengan mulus dan jika ada kesulitan mudah penyelesaiannya.
Gula atau manis-manisan, dimaksudkan agar pelaksanaan acara berjalan dengan baik.
Kappu bunga-bungaan atau harum-haruman dimaksudkan agar kemulusan dan kebaikan pelaksanaan acara ini tersohor di segenap penjuru.
Masi-masigi dimaksudkan agar calon pihak mempelai pria dan wanita senantiasa searah dan keseinginan, dan sekaligus menjadi tanda bahwa yang diarak ini beagama Islam.
Bualoa artinya seperti pajak dari nilai kesepakatan. Ini dibagi-bagikan oleh adapt dalam upacara.
Kelompok pengantar dari golongan wanita.
Calon mempelai pria bersama mas kawin yang dibawa oleh seorang laki-laki kuat asmnai dan rohani serta dapat dipercaya.
Kelompok pengantar laki-laki.
Kelompok musik rebana.
Calon pengantin pria bersama sorong dan pembawanya berada dibawah payung. Setelah calon mempelai pria tiba dihalaman rumah calon pengantin wanita, dia dijemput oleh seorang famili dari mempelai wanita. Sesampai di tangga diemput dengan taburan beras ini dimaksudkan agar kedua suami-istri kelak dapat membangun rumah tangga yang makmur, berbahagialahir dan batin.
Urutan acara pada mata gau :
§ Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
§ Pellattingiang berlangsung bersama-sama dengan tarian
§ Penyerahan mas kawin
§ Penyerahan perwalian dari wali calon mempelai wanita kepada orang yang akan menikah
§ Pelaksanan ijab Kabul
§ Pengucapan ikrar mempelai pria terhadap mempelai wanita
§ Mappasinga’ang artinya melakukan pegangan sah yang pertama.
§ Pemasangan cincin kawin bergantian
§ Saling menyuapi makan
§ Memohon doa restu ke-4 orang tua, dan sanak famili yang lain dari ke-2 belah pihak
§ Kedua mempelai duduk bersama di pelaminan untuk menerima tamu.
12) Nilipo
Merupakan kunjungan keluarga pihak mempelai pria keruamh mempelai wanita. Ini dilakukan paling tidak 3 kali berturut-turut setiap malam sesudah salat isya.
Ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antara kelurga kedua belah pihak. Kesempatan ini pula diadakan acara ‘mappapangino’ yaitu mempelai laki-laki mencari, memburu dan menangkap memoelai wanita.
13) Mando E Bunga
Artinya mandi bunga untuk menharumkan dan membersihkan diri dari hadas besar yang mungkinterjadi sesudah akad nikah. Ini dilakukan bersama-sama  kedua mempelai dalam tempayan yang satu, untuk memasuki tahap berikutnya.
14) Marola atau Nipemaliangngi
Marola artinya mengikut atau rujuk ialah perkunjungan kedua mempelai kerumah mempelai pria. Kegiatan ini dilakukan hanya untuk bersenang-senang, bermain musik dan lain-lain. Kesempatan ini biasa orang tua pria melakukan pemberian barang-barang berharga seperti tanah, perkebunan, rumah dan sebagainya sebagai pernyataan syukur dan gembira terhadap terlaksananya perkawinan tersebut.
Contoh pakaian adat perkawinan suku mandar :
E.Sistem Kekerabatan
Suku Mandar pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan istilah Mesangana, kelurag luas yaitu famili-famili yang yang dekat an sudah jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status dalam suku Mandar berbeda dengan suku Bugis, karena didaerah Bugis  pada umunya wanita yang memegang peran dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam mengurus pencarian nafkah, mereka mempunyai prinsif hidup, yaitu Sibalipari yang artinya sama-sama menderita (sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinya menangkap ikan, setelah sampai didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut akan dijual atau dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Didaerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan, menenun anyaman dan lain-lain. Didaerah Mandar terkenal dengan istilah hidup, Sirindo-rondo, Siamasei, dan Sianuangpa’mai. Sirondo-rondoi maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri begotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuangpa’mai ( sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira susah sama susah). Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama Bantu membantu baik yang bersifat materil maupun non materil.
F. Nilai Budaya atau Kesenian
Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “TenggaTenggaLopi” dengan “BaturateMaribulang”.
Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.
Tari “Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.
2.Proses Asimilasi dan Enkulturasi
Proses asimilasi yaitu dimana dua kelompok yang berbeda kebudayaannya saling berbaur dan menyatu menjadi satu kesatuan hingga menghasilkan kebudayaan baru yang berbeda dengan kebudayaan aslinya. Adanya kebudayaan yang berbeda-beda pada suku mandar inilah yang membuat kebudayaan tersebut bergabung menjadi satu sehingga terbentuknya budaya yang baru di tengah masyarakat suku mandar, dan menghilangkan kebudayaan lama dan bertahun-tahun sudah ada di tengah masyarakat suku mandar. Proses enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat suku mandar

.B I M A
A.    Pengertian Budaya
Djoko Widagdho, dkk (2010:18) Bahwa  Kebudayaan = cultuur (Bahasa Belanda) = culture (bahasa inggris) berasal dari perkataan latin “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alaam”.
            Dilihat dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhaya”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
            Pendapat lain mengatakan, bahwa “budaya” adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi, karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan, adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut. 
B.     Sejarah dan Asal Usul Daerah Bima
Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis  yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.
a.      Sejarah
Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.
Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).

Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.

Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
ü  Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
ü  Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
ü  Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
ü  Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.
3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.

Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :

ü  La Ka’I menjadi Abdul kahir
ü  La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
ü  Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
ü  Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama Islam.
            b.Asal Usul
Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :
1.      Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.
2.      Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
C.    Agama Kepercayaan
Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadaproh nenek moyang. Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agamaIslam, suku Bima masih mempercayai dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia rohyang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yangsangat besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bakedan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa GunungRinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagiantimur menganut agama Kristen.
D.    Pakaian Adat
Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

E.     Rumah Adat
Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

F.     Tarian Daerah Bima
Pada zaman dulu, Istana Bima atau Asi Mbojo tidak hanya berfungsi sebagai pusat Pemerintahan. Asi juga merupakan pusat pengembangan seni dan budayatradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Bimayang kedua) yang memerintah antara tahun 1640-1682 M, Seni budaya tradisional berkembang cukup pesat. Salah satu seni tari yang tetap eksis hingga saat ini adalah Tari Lenggo.Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu Dan Lenggo Mbojo.
 LenggoMelayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Baratyang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali diOi Ule (Pantai Ule Sekarang) dalam rangka memperingati Maulid NabiMuhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa Bima disebut LenggoMone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya pada tahun1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yangdiperankan oleh 4 orang penari perempuan.
Lenggo Mbojo juga disebut LenggoSiwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tari Lenggo selaludipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA terutama pada saatrombongan penghulu Melayu memasuki pelataran Istana. Dua pasang Lenggo initurut mendampingi Penghulu Melayu selama perjalanan dari Kampung Melayu menuju Istana Bima di atas Uma Lige (Rumah Mahligai) yang diusung oleh 44orang Pemuda kekar yang melambangkan 44 struktur Hadat kesultanan Bima.Tarian ini diiringi oleh alunan alat musik tradisional Bima seperti dua buah gendang besar(Genda Na’e), Gong, Silu(Sejenis Serunai), serta Tawa-tawa. IramaTari lenggo berima lembut mengikuti alunan musik yang lembut pula.Gerakannya pelan dan gemulai.
 Tari Lenggo adalah warisan masa lalu, titipan keluarga zaman untuk generasinya. Ia akan terus menari mengiringi pergulatanzaman di Dana Mbojo tercinta.Hadrah: merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada AllahSWT. Hadrah yang dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa masuk keBima sekitar abad XIV sejak masuknya Islam ke daerah itu.* Kanja: Tari tradisional Bima yang diciptakan Sultan Abdul Kahir Sirajuddintahun 1673 setelah mendapatkan inspirasi sejarah masuknya Islam ke Bima.Kanja berarti tantang, karena dalam tarian ini ada gambaran pertarungan duaorang panglima yang tangguh.* Karaenta: Tari tradisional Bima diawali dengan sebuah lagu berbahasaMakassar yang bernama Karaengta. Penarinya anak kecil berusia sekitar 10 tahun,tidak memakai baju, kecuali hiasan yang dalam bahasa Bima disebut Kawari ataudokoh. Tari hiburan ini merupakan dasar untuk mempelajari tarian kerajaan Bimayang lain.
* Katumbu: Tari tradisional Bima yang berarti berdegup ini menggambarkankeluwesan dan keterampilan remaja putri. Tarian ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV dan ditarikan keluarga istana.* Toja: Tari tradisional Bima yang diangkat dari legenda Indra Zamrud.Penciptanya Sulta Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1651. Tari ini menggambarkanlemah-gemulainya penari yang turun dari khayangan. * Lenggo: Tari tradisionalBima yang berarti melenggok, yang telah diadatkan dalam upacara Sirih Puansetiap perayaan Maulid. Tari ini menceritakan bagaimana guru agama Islammengadakan penghormatan kepada muridnya, yaitu Sultan sebagai pernyataansaling menghormati.* Lengsara: Tari tradisional Bima yang dahulu dipertunjukkan dalam sidangeksekutif dan upacara Ndiha Molu (Maulid Nabi). Tari ini terakhir dipertunjukkan pada tahun 1963 dalam perkawinan keluarga raja, dan sekarang telah dihidupkankembali.* Mpa'a: Tari rakyat Bima yang berisi gerak-gerak silat.* Sere: Tari tradisional Bima yang berarti mengajak berperang yang semuladitarikan perwira perang bergelar Anangguru Sere. Tari ini dipertunjukkan diarena yang cukup luas di hadapan tamu yang berkunjung ke Bima.
G.    Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.
H.    Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.
Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.



I.       Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar
Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan PutriMahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke-VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. ada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunanSultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim),
 Terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17.









1 Komentar untuk " (Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Bima, dan Flores)"

Dimana anda penilitian sampai ada dibilang bugis makassar, bugis toraja, bugis manda? Kau mau bugiskan sekua kah? Perbaiki

Back To Top