BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pendidikan Karakter
1.
Pengertian Pendidikan Karakter
Karakater adalah kumpulan tata nilai
yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku
yang ditampilkan. Sebagaimana menurut Zubaedi
menyatakan bahwa “Pengertian karakter adalah bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, dan watak.[1] Istilah
karakter memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, ia menunjukkan
bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan “personality”. Seseorang baru bisa disebut orang yang
berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai
kaidah moral”.[2]
|
“Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu
yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan
perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Karakter dimaknai
sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara”.[3] Karakter yang kuat adalah sandangan
fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup
bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan
kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral.
“Pendidikan karakter adalah
sebuah sistem yang menanamkan
nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran
individu, tekat, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga
akan terwujud insan kamil”.[4]
Sedangkan Dharma Kesuma menyarankan
bahwa: “Karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri,
atau karakteristik, atau gaya ,
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan”.[5] Seseorang dianggap
memiliki karakter mulia
apabila mempunyai
pengetahuan yang mendalam
tentang potensi dirinya
serta mampu mewujudkan potensi
itu dalam sikap
dan tingkah lakunya.
Adapun
ciri yang dapat dicermati
pada seseorang yang mampu memanfaatkan potensi
dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap
terpuji, seperti penuh
reflektif, percaya diri, rasional, logis,
kritis, analitis, kreatif-inovatif, mandiri,
berhati-hati, rela berkorban, berani,
dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil,
rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut,
setia, bekerja keras, tekun,
ulet, gigih, teliti, berinisiatif,
berpikir positif, disiplin,
antisipatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat, efisien, menghargai
waktu, penuh pengabdian, dedikatif,
mampu mengendalikan diri,
produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan
tertib.
Seseorang yang
memiliki karakter positif
juga terlihat dari
adanya kesadaran untuk berbuat
yang terbaik dan
unggul, serta mampu
bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Dengan
demikian karakter atau karakteristik adalah
realisasi perkembangan positif
dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan
perilaku. Bila peserta didik
bertindak sesuai dengan
potensi dan kesadarannya tersebut maka
disebut sebagai pribadi
yang berkarakter baik
atau unggul indikatornya adalah mereka
selalu berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan,
negara, serta dunia
internasional pada umumnya,
dengan mengoptimalkan potensi
(pengetahuan) dirinya disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi.[6]
Di antara karakter baik yang hendak
dibangun dalam kepribadian peserta didik
adalah bisa bertanggung
jawab, jujur, dapat
dipercaya, menepati janji,
ramah, peduli kepada
orang lain, percaya
diri, pekerja keras,
bersemangat, tekun, tak mudah
putus asa, bisa
berpikir rasional dan
kritis, kreatif dan inovatif, dinamis, bersahaja, rendah
hati, tidak sombong, sabar, cinta ilmu dan kebenaran, rela berkorban,
berhati-hati, bisa mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh oleh
informasi yang buruk,
mempunyai inisiatif, setia, menghargai waktu, dan bisa bersikap
adil.
2.
Landasan Pendidikan Karakter
a.
Landasan
Yuridis
Landasan yuridis
pelakasanaan pendidikan karakter sangat jelas. Hal ini tampak dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisem Pendidikan Nasional pada Pasal
yang menyatakan:
Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia;sehat; berilmu; cakap;
kreatif; mandiri; dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.[7]
Dalam pasal
tersebut, secara tersirat dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
dan bertujuan membentuk karakter (watak) peserta didik menjadi manusia
sempurna.
b.
Landasan
Religi
Yang dimaksud landasan religi dalam uraian
ini adalah landasan atau dasar-dasar yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul (Al-Hadits). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yaitu:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل : 125
Artinya: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl: 125).[8]
Surat Al-Qalam ayat 4
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ - القلم
: 4
Artinya: “Dan
Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS.
Al-Qalam:4).[9]
Sedangkan Hadits Nabi yang menjadi
sumber hukum berperilaku atau berkarakter
yang baik ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah bersabda:
وعن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إنمابعثت لأتمم مكارم الأاخلاق" (رواه
أحمد)
Artinya : ”sesungguhnya
aku diutus kebumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq”. (Hadits riwayat
Ahmad).[10]
Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi
SAW di atas, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya menganjurkan
kepada manusia untuk senantiasa memiliki akhlak/karakter
yang baik, dimana kepribadian Rasulullah SAW lah yang menjadi cerminan untuk
dijadikan panutan. Sangat jelas diterangkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits bahwa
Rasulullah SAW diutus ke bumi itu untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Keluhuran
budi Rasulullah SAW, telah beliau tampakkan sedari beliau kecil. Dan hal itu
telah diakui oleh bangsa Quraisy pada zamannya, sehingga beliau mendapatkan
gelar Al-Amin yang artinya dapat
dipercaya. Dari itu lah memang tidak diragukan lagi bahwa di dalam diri
Rasulullah SAW itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kita semua. Seperti
halnya firman Allah yang termaktub didalam Al Qur an Surat Al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا . الأحزاب : 21
Artinya : “sungguh,
telah ada pada (diri) rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah”.(Q.s. Al-Ahzab : 21) [11]
c.
Landasan
Filsafat Manusia
Secara
filosofis, manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan belum selesai.
Mereka dilahirkan dalam bentuk setengah jadi. Manusia yang ketika dilahirkan
berwujud anak manusia belum tentu dalam proses perkemban gannya ketika dewasa
menjadi manusia yang sesungguhnya. Agar dapat menjadi manusia yang
sesungguhnya, dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, anak-anak manusia
memerlukan bantuan. Upaya membantu manusia untuk menjadikan manusia yang
sesungguhnya itulah yang disebut pendidikan.[12]
Berbeda dengan hewan, yang memang dari lahir sampai proses perkembangannya akan
tetap menjadi hewan yang sesungguhnya dan berkarakter sebagai hewan.
Dalam proses perkembangannya, karakter manusia bahkan dapat lebih
buruk daripada hewan. Oleh sebab itu, pendidikan karakter sangat diperlukan
bagi manusia sepanjang hidupnya, agar menjadi manusia yang berkarakter baik.
d.
Landasan
Filsafat Pancasila
Bangsa Indonesia
yang memiliki dasar pancasila, seharusnya juga memiliki perilaku/karakter yang
senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ke-5 sila pancasila,
yakni: Bangsa yang ber-keTuhanan Yang Maha Esa; Bangsa yang menjunjung tinggi
rasa kemanusiaan yang adil dan beradab; Bangsa yang mementingkan persatuan dan
kesatuan untuk Indonesia; Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum
dan Hak Asasi Manusia; Bangsa yang mengedepankan keadilan sosial dan
kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.
“Manusia Indonesia yang ideal, adalah manusia
Pancasilais, yaitu menghargai nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial”.[13]
e.
Landasan
Filsafat Pendidikan
Seseorang yang
berkepribadian utuh digambarkan dengan terinternalisasikannya nilai-nilai dari
berbagai dunia makna (nilai), yaitu nilai simbolik yang ada dalam bahasa,
ritual keagamaan, dan matematika; nilai empirik terdapat dalam Sains dan Ilmu
Pengetahuan Sosial; nilai estetik yang terdapat pada kesenian; nilai etik
dikembangkan melalui pendidikan moral; yang tercermin dalam pengalaman hidup
yang unik dan sangat mengesankan yang mampu mengubah perilaku; dan nilai
sinoptik yang merangkum keseluruhan nilai dan hadir dalam pendidikan agama,
sejarah dan filsafat. [14]
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter pada dasarnya
merupakan proses internalisasi nilai-nilai di atas yang dapat diintegrasikan ke
dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan dalam pendidikan formal maupun non
formal.
f.
Landasan
Sosiologis
Secara
sosiologis, bangsa Indonesia merupakan kumpulan dari masyarakat yang heterogen,
dengan beranekaragam suku, agama, etnis, budaya, golongan, dan status sosial
yang berbeda. Mereka pun juga hidup berdampingan dengan warga yang tinggal di
negara tetangga dan tentunya memiliki perbedaan adat istiadat dan latar
belakang. Sehingga, dalam hal ini pengembangan karakter untuk saling menghargai
dan toleransi menjadi sangat penting.
g.
Landasan
Psikologis
Dari sisi
psikologis, karakter manusia dapat dideskripsikan dari dimensi-dimensi
intrapersonal, interpersonal, dan interaktif. Dimensi intrapersonal terfokus
pada kemampuan atau upaya manusia untuk memahami diri sendiri sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. “Dimensi interpersonal secara umum dibangun atas kemampuan
inti untuk mengenali perbedaan, sedangkan secara khusus merupakan kemampuan
manusia mengenali perbedaan dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan
kehendak. Dimensi interaktif adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi sosial
dengan sesama secara bermakna”.[15]
Dari segi
psikologi perkembangan, manusia memiliki tahapan dalam perkembangannya. Dari
setiap tahapan perkembangannya, manusia memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Usia anak-anak tidak sama karakteristiknya dengan usia remaja, usia
dewasa dan usia tua. Oleh karena itu diperlukan pendidikan karakter yang
menanamkan nilai kesantunan, kepedulian dan saling menghargai.
4. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang berakhlak mulia, bermartabat, tangguh,
berjiwa patriotik, kompetitif, berkembang dinamis, berorientasi pada ilmu
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan
yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter
bertujuan mengembangkan nilai-nilai
yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: 1) mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; 2)
membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; 3) Mengembangkan potensi
warganegara agar memiliki
sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta
mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki
tujuan sebagai berikut:
a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai
kehidupan yang diangga penting dan perlu sehingga menjadi
kepribadian/lepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan;
b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang
tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;
c. Membangun koneksi yang harmonis dengan
keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter
secara bersama.[16]
Pendidikan
karakter berfungsi 1) membangun kehidupan
kebangsaan yang multicultural; 2) membangun peradaban bangsa yang
cerdas, berbudaya luhur, dan mempu berkontribusi
terhadap pengembangan kehidupan
ummat man1usia, mengembangkan
potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran
baik,dan berperilaku baik
serta keteladanan baik;
3) membangun sikapwarganegara yang
mencintai damai, kreatif,
mandiri, dan mampu
hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
5.
Tahapan Perkembangan Karakter Siswa
Karakter dikembangkan melalui tahapan pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting),
dan kebiasaan (habit). Seseorang
dikatakan memiliki karakter yang baik itu tidak hanya terbatas pada
pengetahuannya tentang kebaikan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan
mengenai baik buruknya sifat, belum tentu mampu bertindak sesuai
pengetahuannya, jika ia tidak terbiasa melakukan kebaikan.
Dengan
demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu:
a. moral
knowing (pengetahuan
tentang moral) yang meliputi kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai
moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian mengambil sikap, dan
pengenalan diri.
b. moral
feeling atau perasaan
(penguatan emosi) tentang moral yang meliputi kesadaran akan jati diri, percaya
diri, kepekaan terhadap derita orang lain, cinta kebenaran, pengendalian diri,
dan kerendahan hati.
c. moral
action atau perbuatan
moral merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil dari dua
komponen karakter lainnya.[17]
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Karakter
Proses pembentukan
karakter pada seseorang dipengaruhi oleh diri sendiri juga dari lingkungan dan
antara keduanya terjadi interaksi. Secara normatif, pembentukan atau
pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik pula.
Berikut ada empat faktor yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan
karakter.
a.
Keluarga
Keluarga adalah
komunitas pertama bagi seseorang, yang menjadi tempat untuk belajar mengenai
konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah, sejak usia
dini.
b.
Media
Massa
Di era kemajuan
teknologi ini, salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap
pembangunan, atau sebaliknya, perusakan karakter bangsa adalah media massa,
khususnya media elektronik. Sebenarnya, mengenai bagaimana pengaruh media massa
terhadap bangsa, merusak atau membangun, itu tergantung pada penggunanya
sendiri.
c.
Teman
Sepergaulan
Teman sepergaulan
adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang.
Adakalanya pengaruh teman sepergaulan tidak sejalan dengan pengaruh keluarga,
bahkan bertentangan, ada juga yang sebaliknya, yakni mereka membawa pengaruh
yang baik.
d.
Sekolah
Sekolah adalah tempat
peserta didik mengenyam pendidikan secara formal. Dan sebagaimana yang
ditegaskan oleh Slamet Iman Santoso bahwa “Pembinaan watak adalah tugas utama
pendidikan”.[18] Bagi orangtua, sekolah
diharapkan menjadi salah satu tempat atau lingkungan yang dapat membantu anak
mengembangkan karakter yang baik.
B.
Pendidikan Karakter Disiplin
Realisasi pendidikan karakter perlu diwujudkan dalam
keluarga, masyarakat atau lingkungan dan sekolah. Oleh karena itu, secara
otomatis pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh orang tua dan
masyarakat. Ini disebabkan karena ketiga komponen tersebut secara komplementer
saling memberikan pendidikan karakter pada siswa.[19]
Sekolah sebagai suatu lembaga formal perlu mengambil
peran dalam pengembangan sisi afektif siswa. Dengan kata lain, dalam
pelaksanaan pendidikan karakter, sekolah perlu menekankan pada pembinaan
perilaku siswa, sebab karakter pada dasarnya bukan penguasaan pengetahuan
(aspek kognitif) tetapi lebih banyak pada aspek afektif. Apa yang berlaku di
sekolah formal sampai saat ini, dalam pembelajaran karakter belum menyentuh
aspek afektif ini.
Pendidikan karakter penelitian ini, difokuskan pada
kedisiplinan. Disiplin pada dasarnya kontrol diri dalam mematuhi aturan baik
yang dibuat oleh diri sendiri maupun diluar diri baik keluarga, lembaga
pendidikan, masyarakat, bernegara maupun beragama. Disiplin juga merujuk pada
kebebasan individu untuk tidak bergantung pada orang lain dalam memilih,
membuat keputusan, tujuan, melakukan perubahan perilaku, pikiran maupun emosi
sesuai dengan prinsip yang diyakini dari aturan moral yang dianut.
Istilah kedisiplinan memiliki makna yang beragam
diantaranya yaitu penertiban dan pengawasan diri, penyesuaian diri terhadap
aturan, kepatuhan terhadap perintah pimpinan, penyesuaian diri terhadap
norma-norma kemasyarakatan dan lain-lain.
Disiplin adalah kepatuhan seseorang dalam mengikuti
peraturan atau tata tertib didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata
hatinya. Disiplin dapat diartikan sebagai suatu hal yang mendorong untuk harus
melakukan perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ada. Suatu
norma merupakan suatu peraturan yang menentukan kebiasaan, kelakuan yang
diharapkan dalam suatu keadaan tertentu, kata kunci di sini ialah diharapkan
sebab norma-norma tidaklah obyektif, infleksibel atau tidak dapat dirubah
seperti halnya suatu ukuran linier (meter, kilometer). Agaknya hal itu
merupakan suatu harapan masyarakat tentang bagaimana individu-individu dan
kelompok-kelompok di dalam masyarakat akan berlaku sesuai status mereka dalam
masyarakat itu. Biren Baun dan Sangarain yang dikutip oleh Shocib, mengatakan
bahwa istilah norma itu apabila dipakai dalam arti generik dalam arti umum
harus mempunyai 3 atribut yaitu:
a.
Suatu evaluasi kolektif dari kelakuan dalam arti
bagaimana hal itu seharusnya
b.
Suatu harapan kolektif tentang bagaimana hendaknya
kelakuan itu
c.
Berbagai reaksi tertentu terhadap kebiasaan, termasuk
berbagai upaya untuk menerapkan berbagai sangsi/jika tidak membujuk melakukan
suatu tindakan jenis tertentu.[20]
Disiplin
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan agar tidak terjadi suatu pelanggaran
terhadap suatu peraturan yang berlaku demi terciptanya suatu tujuan. Disiplin
adalah proses atau hasil pengarahan untuk mencapai tindakan yang lebih efektif.
Menurut
Oteng Sutisna dalam menciptakan disiplin yang efektif diperlukan
kegiatan-kegiatan diantaranya sebagai berikut.
1.
Guru maupun murid hendaknya memiliki sifat-sifat
perilaku warga sekolah yang baik seperti sopan santun, bahasa yang baik dan
benar.
2.
Murid hendaknya bisa menerima teguran atau hukuman yang
adil.
3.
Guru dan murid hendaknya bekerjasama dalam membangun,
memelihara dan memperbaiki aturan-aturan dan norma-norma.[21]
Nilai-nilai sikap dan norma tersebut semua diajarkan
dengan istimewa, sebab mereka lebih dekat merefleksikan struktur masyarakat
tertentu daripada sikap-sikap dan lebih serius merupakan produk dari proses
sosialisasi. Misalnya: apabila guru sedang menyampaikan kepada siswa apa yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka siswa itu lebih
menghubungkannya pada suatu nilai atau norma pada masyarakat daripada terhadap
sikap. Sikap-sikap biasanya dengan tidak sengaja ditanamkan (walau hal itu
demikian) tetapi lebih sering merupakan akibat dari beberapa pengalaman
langsung/melalui orang lain, dengan objek sikap.
Seseorang dengan karakteristik disiplin yang sehat
adalah orang yang mampu melakukan fungsi psikososial dalam berbagai seting
termasuk:
1. Kompetensi dalam bidang akademik, pekerjaan dan relasi sosial;
2. Pengelolaan emosi dan
mengontrol perilaku-perilaku yang impulsif;
3. Kepemimpinan;
Perilaku
disiplin berkembang pada individu, implikasinya dapat dilakukan intervensi
sehingga terfasilitasi proses perkembangan disiplin dan dapat dicapai
kematangan. Perkembangan disiplin dipengaruhi oleh hal-hal berikut.
- Pola asuh dan kontrol yang dilakukan oleh orang tua
(orang dewasa) terhadap perilaku. Pola asuh orang tua mempengaruhi
bagaimana anak berpikir, berperasaan dan bertindak. Orang tua yang dari
awal mengajarkan dan mendidik anak untuk memahami dan mematuhi aturan akan
mendorong anak untuk mematuhi aturan. Pada sisi lain anak yang tidak
pernah dikenalkan pada aturan akan berperilaku tidak beraturan.
- Pemahaman tentang diri dan motivasi pemahaman
terhadap siapa diri, apa yang diinginkan diri dan apa yang dapat dilakukan
oleh diri sendiri agar hidup menjadi lebih nyaman, menyenangkan, sehat dan
sukses membuat individu memebuat perencanaan hidup dan emmatuhi
perencanaan yang dibuat.
- Hubungan sosial dan pengaruhnya terhadap individu
Relasi sosial dengan individu maupun lembaga sosial memaksa individu
memahami aturan sosial dan melakukan penyesuaian diri agar dapat diterima
secara sosial. Jika dalam suatu masyarakat berkembang budaya bersih tentu
akan sangat tidak nyaman manakala kita membuat sampah sembarang dan semua
orang melihat kita menyatakan keheranan dan menunjukkan bahwa perilaku
yang dilakukan adalah salah.
Sekolah adalah institut yang memiliki kewenangan untuk
membuat peserta didik belajar mengembangkan perilaku yang sehat, salah satunya
adalah disiplin. Proses pendidikan dan pembelajaran yang dapat dilakukan di
sekolah untuk mengembangkan disiplin peserta didik sebagai berikut.
1.
Mengembangkan pikiran dan pemahaman serta perasaan
positif siswa tentang tentang manfaat disiplin bagi perkembangan diri
mengembangkan keterampilan diri (life skill) siswa agar memiliki
disiplin.
2.
Mengembangkan pemahaman dan perasaan positif siswa
tentang aturan dan manfaat mematuhi aturan dalam kehidupan.
3.
Mengembangkan kemampuan siswa menyesuaikan diri secara
sehat.
4.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengembangkan
kontrol internal terhadap perilaku sebagai dasar perilaku disiplin.
5.
Menjadi modeling dan mengembangkan keteladanan.
6.
Mengembangkan sistem dan mekanisme pengukuhan positif
maupun negatif untuk penegakan disiplin di sekolah.[23]
Sikap
kedisiplinan bukan sikap yang muncul dengan sendirinya, maka agar seorang anak dapat
bersikap disiplin maka perlu adanya pengarahan dan bimbingan. Dalam hal menanamkan disiplin pada anak-anak
ini mempunyai tujuan-tujuan yang praktis yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Yang dimaksud tujuan jangka pendek dari disiplin ialah membuat
anak-anak terlatih dan terkontrol, dengan mengajarkan mereka bentuk-bentuk
tingkah laku yang pantas dan yang tidak pantas, atau yang masih asing bagi
mereka.
Sedangkan
jangka panjang dari disiplin adalah untuk perkembangan pengendalian diri
sendiri dan pengarahan diri sendiri (self control and self direction)
yaitu: dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh
pengendalian dari luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri
sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standar-standar dan
aturan-aturan yang sudah menjadi milik sendiri. Oleh karena itu orang tua
haruslah secara efektif dan terus menerus berusaha untuk memaikan peranan yang
makin kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap untuk
mengembangkan pengendalian dan pengarahan diri sendiri itu pada anak-anaknya.
Disiplin
akan bertumbuh dengan baik apabila atas kemauan diri sendiri, tetapi apabila
disiplin didasarkan bukan atas kemauan diri sendiri maka yang terjadi disiplin
tidak akan tumbuh dalam diri anak tersebut. Dengan adanya disiplin yang
tertanam dari diri siswa akan menjadikan mereka lebih aktif dan kreatif dalam
belajar. Dengan adanya disiplin belajar yang baik bagi siswa akan meningkatkan
serta memperbesar kemungkinan siswa untuk berkreasi dan berprestasi. Sehingga
apabila siswa memiliki displin dalam waktu belajar maka siswa tersebut akan
terdorong dan termotivasi dalam diri mereka untuk selalu belajar dan belajar.
Dengan adanya kesidiplinan yang telah diterapkan dan ditanamkan akan mendorong
keberhasilan dan kesuksesan bagi diri siswa sendiri.
Disiplin adalah
suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam suatu sistem
tunduk pada peraturan-peraturan yang ada. Disiplin diri merupakan kepatuhan
seseorang terhadap suatu tugas atau peraturan yang dihadapkan pada dirinya.
Walaupun terkadang manusia selalu dihinggapi hasrat-hasrat mendasar pada
dirinya seperti rasa malas, jenuh dan bosan. Sehingga disiplin diri biasanya
disamakan artinya dengan “kontrol diri (self-control)”. [24]
Ada beberapa tips yang dapat membantu kita agar dapat
membiasakan diri menjadi orang yang disiplin. Misalnya:
1.
Melihat
setiap kesempatan baru sebagai pengalaman hidup-baru yang menyenangkan.
2.
Mengerjakan
tugas, lebih cepat lebih baik, sehingga tidak mengganggu pikiran terus menerus.
3.
Membiasakan
diri membereskan apa yang sudah dimuali.
4.
Menghindari
mengulur-ulur waktu. Sibukkan diri kita pada pekerjaan.
5.
Berusaha
untuk menjadi profesional yang membina kepercayaan diri dan keyakinan diri
dalam potensi kita untuk menyempurnakan tugas.
6.
Menghindari
kecemasan.
7.
Menyiapkan
diri atas tugas yang akan datang.
8.
Meminta
tolong atau bertanya kepada ahlinya, jika kita tidak bisa sesudah berusaha.
9.
Mengambil
resiko yang terukur dalam rangka kemajuan.
10. Sering-sering bertanya.
11. Merencanakan yang akan datang, dengan
tetap menghadapi masa sekarang.[25]
Jadi pendidikan
karakter itu suatu konsep dasar yang di terapkan kedalam pemikiran seseorang
untuk menjadikan akhlak jasmani rohani maupun budi pekerti agar lebih berarti
dari sebelumnya sehingga dapat mengurangi krisis moral yang menerpa negeri ini.
C.
Hasil Belajar
1.
Pengertian Hasil Belajar
Belajar
dalam Tesaurus Bahasa Indonesia adalah menuntut ilmu, bersekolah, berlatih. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
belajar disini dipaparkan pengertian belajar:[26]
a. Belajar adalah suatu perubahan tingkah
laku manusia sebagai hasil dari pengalaman, tingkah laku dapat bersifat
jasmaniah (kelihatan) dapat juga bersifat intelektualatau merupakan suatu sikap
sehingga tidak dapat dilihat.
b. Belajar merupakan suatu proses timbulnya
atau berubahnya tingkah laku melalui latihan (pendidikan) yang membedakan dari
perubahan oleh faktor-faktor yang tidak dapat digolongkan dalam latihan
(pendidikan)
c. Belajar adalah suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman.
Jadi
belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman dan proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungan.[27] Dalam Q.S. Al-Nahl: 78
Allah berfirman:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[28]
Pada dasarnya hasil belajar merupakan perubahan
tingkah laku seseorang. Menurut Sudjana hasil belajar siswa adalah perubahan
tingkah laku setelah mereka menempuh pengalaman belajarnya.[29] Di sisi
lain, Purwanto mengatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku yang
terjadi setelah mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan.[30]
Perubahan tingkah laku
tersebut terjadi pada proses pembelajaran setelah seseorang mengalami aktifitas
belajar. Soedijarto yang dikutip oleh Purwanto mendefinisikan bahwa hasil belajar sebagai
tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Oleh karenanya, hasil belajar
dapat berupa perubahan dalam kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik,
tergantung dari tujuan pembelajarannya.[31]
Menurut Bloom dkk
yang dikutip oleh Arifin hasil
belajar dapat dikelompokkan ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Adapun rincian dari domain tersebut adalah sebagai berikut:
a. Domain
kognitif (cognitive domain). Domain
ini memiliki enam jenjang kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension),
penerapan (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation).
b. Domain
Afektif (affective domain), yaitu
interialisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila
siswa menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap
sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan
tingkah laku.
c. Domain
psikomotorik (psychomotor domain),
yaitu kemampuan peserta didik yang berkaitan dengan gerakan-gerakan tubuh atau
bagian-bagiannya, mulai gerakan sederhana
sampai dengan gerakan yang komplek.[32]
Hasil kognitif diukur pada awal dan akhir
pembelajaran. Sedangkan hasil belajar afektif dan psikomotorik diukur pada
suatu proses pembelajaran untuk mengetahui nilai sikap.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan
perilaku disebabkan karena siswa mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang
diberikan dalam proses pembelajaran. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Serta hasil itu dapat berupa perubahan aspek kognitif,
afektif maupun psikomotorik. Penilaian hasil belajar dapat dilakukan dengan
pemberian tes, tanya jawab, dan penilaian tingkah laku peserta didik dalam
pembelajaran. Hasil belajar juga dijadikan penilaian guru terhadap siswa atas
ketuntasan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
2.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi Hasil belajar siswa
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa adalah
sebagai berikut:
a. Faktor yang berasal dari diri sendiri (Internal),
terdiri dari factor fisiologis, psikologis dan kematangan.
1)
Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat
bawaan maupun yang diperoleh (kesehatan).
Kondisi tubuh yang lemah dapat menurunkan kualitas
ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajari kurang dipahami. Untuk
mempertahankan jasmani yang sehat maka siswa dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu siswa juga dianjurkan memilih pola
istirahat dan olah raga ringan yang berkesinambungan.
Tingkat kesehatan indera pendengar dan indera
penglihat juga mempengaruhi siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan.
Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga, maka sebaiknya
guru bekerjasama dengan sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin dari
dinas kesehatan. Kiat lain adalah menempatkan siswa yang penglihatan dan
penglihatan dan pendengarannya kurang sempurna di deretan bangku terdepan
secara bijaksana.[33]
2)
Faktor psikologis, baik yang bersifat bawaan maupun
yang diperoleh (intelegensi, perhatian, sikap siswa, bakat, minat, motivasi)
a)
Intelegensi
Menurut William Stern, Intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan
diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai
dengan tujuannya.[34] Tingkat
intelegensi siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Semakin
tinggi kemampuan intelegensi siswa maka semakin besar peluangnya meraih sukses,
demikian pula sebaliknya.
b)
Perhatian
Perhatian merupakan keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun
semata-mata tertuju kepada suatu objek atau benda-benda atau sekumpulan objek.
Untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka guru harus mengusahakan bahan
pelajaran yang menarik perhatian sesuai dengan hobi dan bakatnya. Proses
timbulnya perhatian ada dua cara, yaitu perhatian yang timbul dari keinginan (volitional
attention) dan bukan dari keinginan atau tanpa kesadaran kehendak (nonvolitional
attention).[35]
c)
Sikap
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan
untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relative tetap terhadap objek
orang, barang dan sebagainya baik secara positif maupun negative. Untuk
mengantisipasi sikap negative guru dituntut untuk lebih menunjukkan sikap
positif terhadap dirinya sendiri dan mata pelajarannya. Selain menguasai
bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga meyakinkan siswa
akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Sehingga siswa merasa
membutuhkannya, dan muncullah sikap positif itu.
d)
Bakat
Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang. Hendaknya orangtua tidak memaksakan
anaknya untuk menyekolahkan anaknya ke jurusan tertentu tanpa mengetahui bakat
yang dimiliki anaknya. “Siswa yang tidak mengetahui bakatnya, sehingga memilih
jurusan yang bukan bakatnya akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik
atau prestasi belajarnya”.[36]
e)
Minat
Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang
besar terhadap sesuatu. Siswa yang menaruh minat besar terhadap kesenian akan
memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada yang lain. “Pemusatan perhatian
itu memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan mencapai prestasi yang
diinginkan”.[37]
f)
Motivasi
Motivasi belajar merupakan kekuatan, daya pendorong, atau alat pembangun
kesediaan dan keinginan yang kuat dalam diri siswa untuk belajar secara aktif,
kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam rangka perubahan perilaku,
baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. “Motivasi ada dua jenis,
intrinsic dan ekstrinsik. Motivasi intrinsic adalah motivasi yang datang secara
alamiah dari diri siswa itu sendiri sebagai wujud adanya kesadaran diri dari
lubuk hati paling dalam. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datangnya
disebabkan factor-faktor di luar diri peserta didik, seperti adanya pemberian
nasihat dari gurunya, hadiah, kompetisi sehat antarpeserta didik, hukuman dan
sebagainya”.[38]
a)
Kematangan
Kematangan merupakan suatu tingkatan atau fase dalam pertumbuhan
seseorang, di mana seluruh organ-organ biologisnya sudah siap untuk melakukan
kecakapan baru. Anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan
kecakapannya sebelum belajar. Belajar akan lebih berhasil apabila anak sudah
siap (matang) untuk belajar. Dalam konteks proses pembelajaran kesiapan untuk
belajar sangat menentukan aktivitas belajar siswa.
b)
Kesiapan
Kesiapan atau readiness merupakan kesediaan untuk memberi respons
atau bereaksi. Kesediaan itu datang dari dalam diri siswa dan juga berhubungan
dengan kematangan. Kesiapan amat perlu diperhatikan dalam proses belajar,
karena jika siswa belajar dengan kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih
baik.
c)
Kelelahan
Kelelahan ada dua macam, yaitu kelelahan jasmani (fisik) dan kelelahan
rohani (psikis). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan
muncul kecenderungan untuk membaringkan tubuh (beristirahat). Sedangkan
kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga
minat dan dorongan untuk berbuat sesuatu termasuk belajar menjadi hilang.
b.
Faktor yang berasal dari luar (eksternal)
diantaranya:
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari
luar diri anak didik.[40] Faktor eksternal yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu:
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat,
1)
Faktor keluarga
Pengertian keluarga menurut Abu Ahmadi adalah Unit
satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan kelompok terkecil
dalam masyarakat.[41]
Keluarga akan memberikan pengaruh kepada siswa
yang belajar berupa: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga,
suasana rumah tangga, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar
belakang kebudayaan.
a)
Cara orang tua mendidik
Orang tua
merupakan sumber pembentukan
kepribadian anak, karena anak mulai mengenal pendidikan yang pertama kali adalah pendidikan keluarga oleh orang
tuanya.
b)
Relasi antar anggota keluarga
Relasi antar anggota keluarga yang terpenting
adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan
saudaranya atau dengan anggota keluarga lainpun turut mempengaruhi belajar
anak.[42]
Wujud relasi ini misalnya apakah hubungan itu penuh dengan kasih sayang dan
pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukan
sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya.
Demi kelancaran belajar serta keberhasilan
anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut.
Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai
dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak
sendiri.
c)
Suasana rumah tangga
Suasana rumah
dimaksudkan sebagai situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi
di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar.[43]
Suasana rumah juga merupakan faktor yang
penting yang tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang
gaduh/ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan kepada anak yang
belajar.[44]
Suasana tersebut dapat terjadi pada keluarga yang besar dan terlalu banyak
penghuninya. Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok,
pertengkaran antar anggota keluarga atau dengan keluarga lainnya menyebabkan
anak menjadi bosan di rumah, akibatnya belajarnya menjadi kacau.
d)
Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga sangat erat
hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus
terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya: makan, pakaian, perlindungan, kesehatan
dan lain-lainnya, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar,
meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain sebagainya.
Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.[45]
Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin,
kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu.
Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder
dengan teman lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak. Bahkan mungkin
anak harus bekerja mencari nafkah untuk membantu orang tuanya walaupun
sebenarnya anak belum saatnya untuk bekerja, hal yang seperti ini akan
mengganggu belajar anak. Walaupun tidak dapat dipungkiri tentang adanya
kemungkinan anak yang serba kekurangan dan selalu menderita akibat ekonomi
keluarga yang lemah, justru keadaan yang begitu menjadi cambuk baginya untuk
belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Hal ini terjadi karena anak
merasa bahwa nasibnya tidak akan berubah jika dia sendiri tidak berusaha
mengubah nasibnya sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-ra'du ayat 11:

Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia. (Q.S. Ar-Ra’du: 11)[46]
Sebaliknya
keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk
memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak
kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut juga dapat
mengganggu belajar anak.
e)
Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan
atau kebiasaaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu
kepada anak ditanamkan kebiasaaan-kebiasaaan yang baik, agar mendorong semangat
anak untuk belajar.
2) Faktor
sekolah
Faktor sekolah
yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran,
waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas
rumah. Berikut ini akan penulis
bahas faktor-faktor tersebut satu persatu.
a)
Metode Mengajar
Metode adalah cara
yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan.[47]
Sebagaimana kita ketahui ada banyak sekali metode
mengajar. Faktor-faktor
penyebab adanya berbagai macam metode mengajar ini adalah:
(1) Tujuan yang berbeda dari masing-masing
mata pelajaran sesuai dengan jenis, sifat maupun isi mata pelajaran
masing-masing.
(2) Perbedaan latar belakang individual anak,
baik latar belakang kehidupan, tingkat usia maupun tingkat kemampuan
berfikirnya.
(3) Perbedaan situasi dan kondisi di mana
pendidikan berlangsung.
(4) Perbedaan pribadi dan kemampuan
dari pendidik masing-masing.
(5) Karena adanya sarana/fasilitas
yang berbeda baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas.[48]
Metode mengajar seorang guru akan mempengaruhi
belajar siswa. Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar
siswa menjadi tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat
terjadi karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran
sehingga guru tersebut menerangkannya tidak jelas. Akibatnya siswa malas untuk
belajar.
Guru yang lama biasaa mengajar dengan metode
ceramah saja. Siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja.
Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang dapat membantu
meningkatkan kegiatan belajar mengajar, dan meningkatkan motivasi siswa untuk
belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode mengajar harus
diusahakan yang setepat, seefisien, dan seefektif mungkin.
b)
Kurikulum
Kurikulum
dipandang sebagai sejumlah mata pelajaran yang tertentu yang harus ditempuh
atau sejumlah pengetahuan
yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah.[49]
Kurikulum sangat mempengaruhi belajar siswa.
Kurikulum yang kurang baik berpengaruh tidak baik terhadap belajar. Kurikulum
yang tidak baik itu misalnya kurikulum yang terlalu padat, di atas kemampuan
siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa. Sistem
instruksional sekarang menghendaki proses belajar mengajar yang mementingkan
kebutuhan siswa. Guru perlu mendalami siswa dengan baik, harus mempunyai
perencanaan yang mendetail, agar dapat melayani siswa belajar secara
individual.
c)
Relasi Guru dengan Siswa
Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan
siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu
sendiri. Jadi cara belajar juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya.
Di dalam relasi (guru dengan siswa) yang baik,
siswa akan menyukai mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa berusaha
mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, jika siswa
membenci gurunya. Ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya,
akibatnya pelajarannya tidak maju.
Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara
akrab, menyebabkan proses belajar mengajar itu kurang lancar. Juga siswa merasa
jauh dari guru, maka segan untuk berpartisipasi secara aktif dalam belajar.
d)
Relasi Siswa dengan Siswa
Guru yang kurang
mendekati siswa dan kurang bijaksana, tidak akan melihat bahwa di dalam kelas ada grup yang saling bersaing
secara tidak sehat. Jiwa
kelas tidak terbina, bahkan hubungan masing-masing individu tidak tampak.
Siswa yang mempunyai sifat-sifat dan tingkah
laku yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau
sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok.
Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih
lagi ia akan menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan-alasan yang
tidak-tidak karena di sekolah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari
teman-temannya.
e)
Disiplin Sekolah
Disiplin sekolah
berarti adanya kesediaan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan
larangan-larangan.
Hal-hal yang dapat
dilakukan untuk menanamkan disiplin kepada anak antara lain adalah: dengan
pembiasaaan, dengan contoh atau tauladan dan dengan penyadaran.
Kedisiplinan
sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam
belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan
melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/karyawan dalam pekerjaan
administerasi dan kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan
lain-lain. Kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta
siswa-siswanya, dan kedisiplinan team BP dalam pelayanannya kepada siswa.
f)
Alat Pelajaran
Alat pelajaran
erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena alat pelajaran yang dipakai
oleh guru pada waktu mengajar dipakai oleh siswa untuk menerima bahan yang
diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan
bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. Jika siswa mudah menerima
pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih giat dan lebih
maju.
Mengusahakan alat
pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik
sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan baik pula.
g)
Waktu Sekolah
Waktu sekolah
adalah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat
pagi hari, siang, sore/malam hari.[50]
Waktu sekolah juga
mempengaruhi belajar siswa. Akibat meledaknya jumlah anak yang masuk sekolah,
dan penambahan gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah siswa, banyak siswa
yang terpaksa masuk sekolah disore hari, hal yang sebenarnya kurang dapat
dipertanggung jawabkan. Di mana siswa harus istirahat, tetapi terpaksa masuk
sekolah, sehingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan lain
sebagainya. Sebaliknya bagi siswa yang belajar dipagi hari, pikiran masih
segar, jasmani dan rohani dalam keadaan yang baik. Jika siswa bersekolah pada
waktu kondisi badannya sudah lelah, misalnya pada siang hari, akan mengalami
kesulitan di dalam menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan karena siswa
kurang berkonsentrasi dan berpikir pada kondisi badan yang sudah lemah tadi.
Jadi memilih waktu sekolah yang tepat akan memberi pengaruh positif terhadap
belajar.
h)
Standar Pelajaran
Guru berpendirian
untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas standar
akibatnya siswa merasa kurang mampu dan takut kepada guru.
Bila banyak siswa
yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu
merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar, yang mengingat perkembangan
psikis dan kepribadian siswa yang berbeda-beda, hal tersebut tidak boleh
terjadi. Guru dalam menuntut
penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang
penting tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai.
i)
Keadaan Gedung
Dengan jumlah
siswa yang luar biasaa banyaknya, keadaan gedung dewasa ini terpaksa kurang,
mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas.
j)
Metode Belajar
Banyak siswa
melaksanakan cara belajar yang salah, dalam hal ini perlu pembinaan dari guru.
Dengan cara belajar yang tepat akan efektif pula hasil belajar siswa itu. Juga
dalam pembagian waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa belajar tidak teratur,
atau terus menerus, karena besok akan ujian. Dengan belajar demikian siswa akan kurang beristirahat, bahkan mungkin
jatuh sakit.
k)
Tugas Rumah
Waktu belajar
adalah di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan
lain. Maka diharapkan guru jangan memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah,
sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan lainnya.
3) Faktor
Masyarakat
Abu Ahmadi
mendefinisikan masyarakat dengan suatu kelompok yang telah memiliki tatanan
kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam
lingkungannya.[51]
Masyarakat merupakan faktor eksternal yang
juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Yang termasuk dalam faktor masyarakat
ini antara lain adalah: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman
bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
a) Kegiatan
siswa dalam masyarakat
Kegiatan siswa
dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi
jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak, misalnya
berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya
akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya.
Perlulah kiranya
membatasi kegiatan siswa dalam masyarakat supaya jangan sampai mengganggu
belajarnya. Jika mungkin memilih kegiatan yang mendukung belajar. Kegiatan ini
misalnya kursus bahasa Inggris, PKK remaja, kelompok diskusi dan lain
sebagainya.
b) Mass
media
Yang termasuk mass
media adalah bioskop, radio, TV, surat
kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada dan
beredar dalam masyarakat.[52]
Mass media yang
baik memberi pengaruh yang baik terhadap siswa dan belajarnya. Sebaliknya mass
media yang jelek juga memberi pengaruh yang jelek terhadap siswa. Sebagai
contoh, siswa yang suka nonton film atau membaca cerita-cerita detektif,
pergaulan bebas akan berkecenderungan untuk berbuat seperti tokoh yang dikagumi
dalam cerita itu, karena pengaruh dari jalan ceritanya. Jika tidak ada kontrol
dan pembinaan dari orang tua (bahkan pendidik), pastilah semangat belajarnya
menurun bahkan mundur sama sekali.
c) Teman
bergaul
Pengaruh-pengaruh
dari teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita
duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu
juga sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti berpengaruh jelek pula.
Teman bergaul yang
tidak baik misalnya yang suka bergadang, minum-minum dan lain sebagainya. Agar
siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah diusahakan agar siswa memiliki
teman bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan
dari orang tua dan pendidik harus cukup bijaksana.
d) Bentuk
kehidupan masyarakat
Kehidupan
masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masyarakat
yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan
mempunyai kebiasaaan yang tidak baik akan berpengruh jelek terhadap anak
(siswa) yang berada di situ.[53] Masih banyak lagi faktor-faktor
lain yang dapat berpengaruh pada prestasi belajar seseorang. Maka tugas orang
tua, pendidik untuk memahami secara mendalam, sehingga dikemudian hari dapat
membina anak/siswanya secara individual dan efektif.
D.
Perencanaan Pendidikan Karakter Disiplin dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Perencanaan pendidikan karakter disiplin dalam
meningkatkan belajar siswa dilakukan dengan melalui tahap-tahap yaitu:
1.
Kegiatan Pendahuluan
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk
mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan membantu internalisasi
nilai atau karakter pada tahap
pembelajaran karakter kedisiplinan ini.
2.
Kegiatan Inti
Menurut Heri
Gunawan dalam bukunya “Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi”,
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 bahwa: “Kegiatan
inti pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi. Pada tahap eksplorasi
peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan
mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan
dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan
kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan
sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik
memperoleh umpan balik atas kebenaran dan kelayakan dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa”.[54]
3.
Kegiatan Penutup
Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif
selama tahap penutup:
a. Selain simpulan yang terkait dengan
aspek pengetauan, agar peserta didik difasilitasi membuat pelajaran moral yang
berharga yang dipetik dari pengetahuan/keteramplan dan/atau proses pembelajaran
yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada
pelajaran tersebut.
b. Penilaian tidak hanya mengukur
pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada
perkembangan karakter mereka.
c. Umpan balik baik yang terkait dengan
produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi maupun karakter, dan
dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa.
d. Karya-karya siswa dipajang untuk
mengembangkan sikap saling menghargai karya oranglain dan rasa percaya diri
e. Kegiatan tindak lanjut dalam bentuk
pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberi
tugas baik tugas individual maupun kelompok diberikan dalam rangka tidak hanya
terkait dengan pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga kepribadian.[55]
Perencanaan penanaman karakter dalam
pembelajaran dapat dilihat pada gambar 2.1
![]() |
Gambar. 2.1 Perencanaan Penanaman Karakter
melalui Pelaksanaan Pembelajaran
E.
Pelaksanaan Pendidikan
Karakter Disiplin Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Kegiatan pembelajaran
dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan
agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Semua
tahapan pembelajaran diharapkan dapat memfasilitasi terinternalisasinya
nilai-nilai karakter. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran
harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik. Diagram
berikut menggambarkan penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran karakter
disiplin:
1.
Kegiatan Pendahuluan
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk
mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan membantu internalisasi
nilai atau karakter pada tahap
pembelajaran karakter kedisiplinan ini. Berikut ada beberapa contoh yang
tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Tahapan Kegiatan Guru pada Kegiatan Pendahuluan
No.
|
Tahapan
kegiatan Guru
|
Nilai
yang Ditanamkan
|
1
|
Guru datang tepat waktu
|
Disiplin
|
2
|
Guru mengucapkan salam dengan
ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas
|
Santun, Peduli
|
3
|
Berdo’a sebelum memulai
pelajaran
|
Religius
|
4
|
Mengecek kehadiran siswa
|
Disiplin
|
5
|
Memastikan bahwa setiap siswa
datang tepat waktu
|
Disiplin
|
6
|
Menegur siswa yang terlambat
dengan sopan
|
Disiplin, Sopan, Peduli
|
(Sumber: Heri Gunawan, 2012)
2.
Kegiatan Inti
Kegiatan
inti pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi. Pada tahap eksplorasi
peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan
mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan
dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan
kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan
sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik
memperoleh umpan balik atas kebenaran dan kelayakan dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa, selain itu dalam proses
pembelajaran jika ada yang ramai sendiri di kelas, jika tidak mengerjakan PR,
diberi tugas tambahan hal ini dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter
kedisiplinan dalam belajar siswa.
Tabel 2.2 Kegiatan
Guru pada Tahap Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi
Tahap
|
No.
|
Kegiatan Guru
|
Nilai yang
Ditanamkan
|
|
EKSPLORASI
|
1
|
Melibatkan peserta didik mencari informasi yang
luas dan dalam tentang topik/tema materi yang dipelajari
|
Mandiri,
Berfikir logis, Kreatif, Kerjasama dan disiplin
|
|
2
|
Menggunakan
beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain
sesuai materi yang dipelajari
|
Kreatif, Kerja Keras
|
||
3
|
Memfasilitasi
terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan
guru PAI, lingkungan, dan sumber belajar lainnya
|
Kerjasama,
Saling Menghargai, Peduli Lingkungan dan disiplin
|
||
4
|
Melibatkan
peserta didik secara aktif dalam pembelajaran
|
Rasa
Percaya Diri, Mandiri dan disiplin
|
||
ELABORASI
|
1
|
Membiasakan
peserta didik membaca dan menulis yang beragam sesuai materi pelajaran
melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna
|
Cinta
Ilmu, Kreatif, Logis dan disiplin
|
|
2
|
Memfasilitasi
peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi dan lainnya untuk memunculkan
gagasan baru baik secara lisan maupun tulis
|
Kreatif,
Percaya Diri, Kritis, Saling Menghargai, Santun dan disiplin
|
||
3
|
Memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, dan menyelesaikan masalah seputar materi
pelajaran.
|
Kreatif,
Percaya iri, Kritis dan disiplin
|
||
4
|
Memfasilitasi
peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif
|
Kerjasama,
Saling Menghargai, Tanggung Jawab dan disiplin
|
||
5
|
Memfasilitasi
peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar
|
Jujur,
Disiplin, Kerja Keras
|
||
6
|
Memfasilitasi
peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok
|
Percaya
Diri, Saling Menghargai, Mandiri, Kerjasama dan disiplin
|
||
KONFIRMASI
|
1
|
Memberikan
upan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan dan tulisan, isyarat
maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik
|
Saling
Menghargai, Percaya Diri, Santun, Kritis, Logis
|
|
2
|
Memberikan
konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui
berbagai sumber
|
Percaya
Diri, Logis, Kritis
|
||
3
|
Memfasilitasi
peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang
telah dilakukan
|
Memahami
Kelebihan dan Kekurangan Diri Sendiri
|
||
(sumber: Heri
Gunawan, 2012)
3.
Kegiatan Penutup
Menurut Heru
Gunawan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai
terjadi dengan lebih inntensif selama tahap penutup:
a.
Selain
simpulan yang terkait dengan aspek pengetauan, agar peserta didik difasilitasi
membuat pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keteramplan
dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan
dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut.
b.
Penilaian
tidak hanya mengukur pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan,
tetapi juga pada perkembangan karakter mereka.
c.
Umpan balik
baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi
maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh
siswa.
d.
Karya-karya
siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya oranglain dan
rasa percaya diri
e.
Kegiatan
tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan
konseling dan/atau memberi tugas baik tugas individual maupun kelompok
diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan
intelektual, tetapi juga kepribadian.[56]
Tabel 2.3
Perilaku Guru pada Kegiatan Penutup
No.
|
Perilaku Guru
|
Nilai yang Ditanamkan
|
1
|
Bersama-sama dengan
peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran
|
Mandiri, Kerjasama, Kritis, Logis
|
2
|
Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap
kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram
|
Jujur, Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan
|
3
|
Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran
|
Saling Menghargai, Santun, Kritis, Logis
|
4
|
Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk
pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan
tugas, baik tugas individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar
peserta didik
|
Disiplin, Kritis, Logis, Kerja Keras
|
(sumber: Heri
Gunawan, 2012)
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui
ketercapaian tujuan. Secara lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi
tiga kawasan yakni pemikiran, perasaaan dan perilaku, sebagaimana yang
tergambar dalam gambar 2.2 di bawah ini.
|
Gambar 2.2 Tujuan Pendidikan Karakter
![]() |
(sumber: Darmiyati Zuchdi dkk, 2013)
1. Evaluasi
Penalaran Moral
Dari skema di atas dapat diketahui bahwa
supaya tujuan pendidikan karakter yang
berwujud perilaku yang diharapkan dapat tercapai, peserta didik harus sudah
memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai
dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus
dilakukan.
Kohlberg, yang dikutip oleh Zuchdi dkk,
menemukan tiga tingkat penalaran mengenai permasalahan (issue) moral dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga
seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah
prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional.
Tingkat
prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa “benar” berarti mengikuti aturan
konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang benar adalah
yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa. Pada tingkat
konvensional, “benar” berarti mememuni harapan masyarakat. Pandangan sosial,
loyalitas, dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian utama orang yang
penalarannya pada tingkat konvensional. Tahap pascakonvensional atau berprinsip
ditandai oleh kebenaran, nilai, atau prinsip-prinsip yang bersifat umum atau
universal yang menjadi tanggungjawab, baik individu maupun masyarakat untuk
mendukungnya.[57]
Seperti yang telah diutarakan
sebelumnya, ada dua tahap dalam setiap penalaran moral, sehingga seluruhnya ada
enam tahap.
Tahap
pertama disebut heteronom. Tahap ini digambarkan sebagai suatu orientasi pada
hukuman dan kepatuhan. Penentuan “benar” atau “salah” didasarkan pada
konsekuensi ragawi suatu tindakan. Tahap kedua disebut tujuan instrumental,
individualisme, dan pertukaran (kebutuhan dan keinginan). Tahap ini ditandai
oleh pemahaman “baik” atau “benar” sebagai sesuatu yang dapat memenuhhi kebutuhan
dan keinginan, baik diri-sendiri maupun oranglain. Tahap ketiga adalah harapan,
hubungan dan penyesuaian antarpribadi. Mengerjakan sesuatu yang “benar” pada
tahap ini berarti memenuhi harapan oranglain dan loyal terhadap kelompok dan
dapat dipercaya dalamd kelompok tersebut. Perhatian terhadap
kesejahteraan oranglain dianggap hal yang penting. Tahap keempat adalah sistem
sosial dan hati nurani. Mengerjakan sesuatu yang “benar” pada tahap ini berarti
mengerjakan tugas kemasyarakatan dan mendukung aturan sosial yang ada. Tahap
kelima adalah kontrak sosial dan hak individual. Yang dianggap “benar” menurut
tahap ini adalah mendukung hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling
menyetujui kontrak sosial bahkan jika mengerjakan hal itu bertentangan dengan
undang-undang dan aturan kelompok sosial. Tahap keenam adalah prinsip etis universal. Pada tahap ini yang
dianggap “benar” adalah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pilihan sendiri
yang sesuai bagi semua manusia.[58]
Untuk mengetahui kedudukan seseorang
dalam tahap-tahap perkembangan penalaran moral di atas, Kohlberg, yang dikutip
Darmiyati dkk, menggunakan dilema moral. Namun diskusi dilema moral hanya dapat
meningkatkan pemikiran moral seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara
pemikiran moral dan tindakan moral. Oleh karena itu, evaluasi ini harus
diilengkapi dengan evaluasi terhadap tingkat perkembangan afektif yang terkait
dengan permasalahan nilai/moral.[59]
2. Evaluasi
Karakteristik Afektif
Dupon yang dikutip oleh Darmiyati dkk,
telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut.
1)
Impersonal,
egocentric:
tidak jelas struktuurnya.
2)
Heteronomous: berstruktur
unilateral, vertikal.
3)
Antarpribadi: berstruktur
horizontal, bilateral.
4)
Psychological-Personal: menjadi
dasar keterlibatan oranglain atau komitmen pada sesuatu yang ideal.
5)
Antonomous: didominasi
oleh sifat otonomi.
Untuk menentukan seseorang pada tahap
perkembangan afektif mana, Dupon menggunakan instrumen yang menuntut adanya
respons yang melibatkan perasaan. Skala sikap karakteristik afektif yang
dievaluasi dapat pula minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri,
dan nilai.[61]
3. Evaluasi
Perilaku
Perilaku moral (moral action) secara akurat dapat dievaluasi dengan melakukan
observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama, secara kontinu
(terus-menerus) dan dengan menggunakan lembar observasi/lembar pengamatan. Dari
itu dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku seseorang itu sudah menunjukkan
karakter atau kualitas akhlak yang akan diamati. Pengamat atau pengobservasi
harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar penafsirannya
terhadap perilaku yang muncul tidak salah. Tehnik observasi ini dapat digunakan
untuk menilai pencapaian peserta didik baik dalam hal pencapaian akademik
maupun kepribadian.[62]
Selain itu juga dapat menggunakan tehnik penilaian diri (dengan lembar
penilaian diri/kuesioner), dan penilaian antarteman (dengan lembar penilaian
antarteman).[63]
F.
Penelitian Terdahulu
1.
Aniata. Skripsi. 2012.
Implementasi Nilai-Nilai Kedisiplinan Dalam Pembentukan Karakter Pada Mata
Pelajaran PKn (Studi di SMP Stella Maris Tomohon). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya Implementasi Nilai-nilai Kedisiplinan
Dalam Pembentukan Karakter Pada Mata Pelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama
Stella Maris Tomohon, sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, namun yang
menjadi tantangan adalah perlunya kesadaran dan motivasi dari dalam diri siswa
itu sendiri serta dukungan dari keluarga dalam hal ini orang tua sebagai
pendidik yang paling pertama dan utama bagi perkembangan anaknya. Oleh karena
itu, baik guru-guru, orang tua maupun siswa diharapkan untuk dapat bekerja sama
dan bertanggung jawab atas tumbuh kembangnya kepribadian siswa khususnya dalam hal kedisiplinan terhadap tanggung jawab.
2.
Ida Sastrayani Saragih. Pengaruh
Kedisiplinan Terhadap Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Pkn Pada
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2011/2012 (Studi Kasus di Kelas X SMAN 2 Pematang
Siantar) Berdasarkan hasil penelitian bahwa kedisplinan berpengaruh kepada
prestasi belajar siswa. Hal ini sesuai dengan hasil yaitu harga kritik r table
dengan n =40 pada taraf kepercayaan 5% sebesar 0,312 sedangakan harga koefisien
korelasi kedisiplinan siswa terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran
PKn di kelas X SMA Negeri 2 Pematangsiantar yaitu sebesar 0,595. Berdasarkan
hasil tersebut yaitu harga kritik r hitung lebih besar dari harga kritik r
table (0,595 > 0,312) maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian
ini dapat diterima.
3.
Skripsi milik Elma Nurpiana, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, yang berjudul “ Penanaman Karakter Disiplin dan Tanggung Jawab
Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakuriuler Kepramukaan pada Siswa Kelas VII di MTsN
Pakem Sleman Yogyakarta Tahun Akademik 2012/ 2013” dari hasil penelitian
skripsi ini diperoleh kesimpulan proses penanaman karakter disiplin yang
diterapkan dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka yang ada di MTsN Pakem yaitu
berupa ketepatan, ketaatan, kepatuhan. Ketaatan disini siswa diwajibkan datang
tepat waktu sebelum kegiatan pramuka dimulai, selanjutnya ketaatan dalam hal
ini siswa harus taat pada peraturan sekolah dan terakhir yaitu kepatuhan siswa
dituntut dan diwajibkan untuk tepat waktu dalam mematuhi dan mentaati segala peraturan
yang telah dibuat sekolah. Dalam kegiatan pramuka sendiri nilai kedisiplinan
diterapkan dalam kegiatan baris- berbaris (PBB), cara berpakaian sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan pihak sekolah, menyelesaikan tugas tepat waktu,
baik tugas individu maupun kelompok. Dan dari metode yang digunakan dalam
kegiatan ekstrakurikuler pramuka dianggap cukup efektif untuk membantu siswa
memiliki karakter kedisiplinan dalam diri siswa. Sehingga para siswa mampu
berpakaian sesuai dengan peraturan sekolah dalam keseharianya dan mampu tepat
waktu.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
di atas adalah penelitian ini fokus pada penerapan pendidikan karakter disiplin dalam meningkatkan
hasil belajar Siswa, penelitian terdahulu membahas tentang implementasi
nilai-nilai kedisiplinan dalam pembentukan karakter dan kemandirian belajar
serta prestasi belajar siswa. Sedangkan persamaannya sama-sama membahas tentang
kedisiplinan siswa.
0 Komentar untuk "INTEGRASI PENDIDIKAN KARATER"